Kamis, 10 Mei 2012

R.A. KARTINI antara MITOS & FAKTA sebagai PAHLAWAN


Ada merpati turun dari surga,
melembut di atas alam.
Putih seperti salju,
halus seperti sutra,
begitu cepat dalam kecepatan.

Dalam mulutnya membawa sebuah batang semanggi Lembut hati-hati.
Dimana tiga daun semanggi sesuai bersama.

Merpati melemparkan batang dengan lembut ke bawah
Dan segera terbang membuai dengan bertepuk tangan pergi ke surga lagi.

Tetapi diberkatilah,
diberkati,
daun-daun Yang di sini menemukan kaki
Mereka adalah Iman,
dan Harapan
dan Kasih
yang bersama-sama sebagai satu.

Puisi diatas aslinya adalah sebuah puisi tulisan tangan berbahasa Belanda yang terdapat dibelakang Foto kabinet dengan potret bertandatangan oleh tiga saudaraKartini, Kardinah, dan Roekmini.



21 April 1879, tepatnya 133 tahun yang lalu ,... di Jepara terlahir seorang perempuan dengan Nama Raden Adjeng Kartini yang kelak akan menjadi seorang pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Lahir dari keluarga bangsawan Jawa tidak membahagiakan Kartini, seorang perempuan yang dinobatkan sebagai pahlawan di kemudian hari, kesedihannya terbaca dalam surat-suratnya kepada sejumlah rekannya. 

Kartini yang wafat dalam usia relatif muda pada 1904, Cara kematiannya pun khas seorang ibu, wafat sewaktu melahirkan. Di usianya yang ke-25, perempuan Jepara ini tak pernah melihat anak pertamanya itu. Sebab kematiannya pun khas masalah kebanyakan kematian ibu melahirkan di Indonesia.

Kartini dari saat lahirnya , memang belum banyak berbuat untuk kemajuan kaumnya, namun buah pikiran dan cita-citanya menjadi inspirasi gerakan perempuan selanjutnya.

Perjuangan Kartini dalam membela hak-hak kaum perempuan dan perjuangannya yang fenomenal patut dikenang dan dijadikan spirit sampai kapanpun. Karena sosok Kartini adalah pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada di Indonesia. 

Kartini bukanlah sosok hero layaknya G.I. Jane yang diperankan oleh bintang seksi nan rupawan Demi Moore dalam drama film Hollywood yang memanggul senjata maju di medan perang. Ia adalah pendobrak patron dan paham patriakhi dalam budaya masyarakat Jawa yang kental.

Seabad berikutnya meski prosentase wanita dalam struktur jabatan eksekutif dan legislatif dianggap tidak memadai, tetapi siapapun bisa menilai bahwa pendidikan perempuan Indonesia sudah cukup maju seperti yang dicita-citakan Kartini. 

Permasalahan kesetaraan gender sering dikait-kaitkan dengan permasalahan HAM dan keadilan sosial dalam arti luas, hingga mudah bagi konsep tersebut menarik simpati, khususnya bagi perempuan. 

Mengapa perempuan selalu diidentikkan dengan pekerjaan domestik seperti menyediakan kopi, sementara lelaki dengan bahagianya berkarir yang sebenarnya juga mampu dikerjakan oleh perempuan menjadi salah satu pertanyaan dasar bagi pejuang kesetaraan gender. 

Anak-anak kita sekarang ini sangat mungkin tidak pernah lagi melantunkan lagu Ibu Kita Kartini karya WR Supratman itu. Bahkan bila boleh jujur nyaris tak pernah mendengarnya lagi. Menyedihkan! Sosok Kartini sang pembawa titik terang kaum perempuan Indonesia itu menjelma bagai mitos, sesuatu yang kita percayai dan telah diangap sebagai sebuah kebenaran sejak dulu tapi sebenarnya tidak benar.

Tegakah kita membiarkan zaman menyulap gagasan dan sosok Kartini sebagai pejuang kemanusiaan menjadi pada akhirnya mitos saja?

Apakah gagasannya itu hanya dapat dibaca dibajunya, kebayanya, masakannya, atau formalitas mengenang nama besarnya. Jangan sampai kita terjebak pada ritualnya tapi alpa menyimpan makna dan menghidupkannya terus-menerus sepanjang hari tanpa menunggu 21 April saja. Biarkan semangat dan jiwa juang perempuan senantiasa terpompa untuk keluar dari rasa ketidakmampuan.

Kita seyogianya mengenang Kartini pada gagasan, ide, perjuangan, dan pandangan-pandangannya tentang ketuhanan, kebijaksanaan, keindahan, humanisme, dan nasionalisme. Bukan pada apa yang telah diapresiasi oleh orang lain.

Sebab, boleh jadi kita akan terjebak pada sosok Kartini sebagai sebuah nama besar dan menafikan gagasan besarnya, karena hanya akan menjadikan Kartini sebagai mitos yang melengkapi cerita-cerita mitos di negeri kita ini. Kartini adalah putri sejati yang peduli kaumnya, dimana pada masanya hampir tidak ada orang yang peduli nasib perempuan, bahkan oleh dan dari kalangan perempuan sekalipun.

Hari ini, biarkanlah semangat tumbuh dan berkembang menyemangati setiap jiwa perempuan Indonesia. Pun, seluruh jiwa anak bangsa ini, karena ide, gagasan, dan spirit untuk maju tidak hanya boleh diklaim oleh segolongan kaum, apalagi oleh hanya karena jenis kelamin.


Kartini Pahlawan Ciptaan Lelaki

Pada suatu pertemuan perempuan Riau tahun 1992 yang dihadiri dari Kantor Kementrian Peranan Wanita saya memprotes diberinya gelar pahlawan kepada RA Kartini. Menurut saya, RA Kartini dipaksakan oleh kekuasaan lelaki karena sikap dan tindakan RA Kartini mengekalkan  kekuasaan lelaki. Ada tiga  alasan penting mengapa saya berpendapat demikian.

 Pertama, aktivitas RA Kartini hanya mengajar dilingkungan terdekatnya, tidak pernah berperang sebagaimana yang dilakukan tokoh perempuan lainnya seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, dan tokoh perempuan lainnya yang turun ke masyarakat untuk mengajar di sekolah  pribumi.Aktivitas ini tentu tetap memberi tempat yang lebih tinggi bagi lelaki.

 Kedua, RA Kartini mengeluhkan masalah keterbatasan perempuan justru kepada penjajah Belanda. Bahkan Kartini terkenal  karena surat-suratnya ke warga Belanda, sehingga menerbitkan bukunya dan menghantarnya ke pahlawan nasionalTindakan ini memang mencirikan sikap seorang perempuan yang selalu berkeluh kesah.

 Ketiga,  RA Kartini adalah istri keempat bupati rembang dari suaminya secara gerakan perempuan langkah yang diambil oleh RA Kartini menikahi lelaki beristri  dan bersedia menjadi istri keempat  sebagai tindakan yang melukai hati perempuan itu sendiri.  

 Setelah saya menyampaikan pendapat saya tersebut, saya ditangkap oleh polisi dan ditahan di satu ruangan sampai menteri wanitanya memanggil saya dan meminta kepada polisi tersebut agar melepaskan saya. Tindakan ini tentu melegalisasi bagi lelaki untuk beristeri lebih dari satu.

Selain itu, coba kita bandingkan kepahlawanan Cut Nyak Dien, ( 1848 – 6 November 1908 )seorang pahlawan perempuan dari Aceh 20 tahun lebih dahulu dari RA Kartini, dia merupakan panglima perang dan menentukan syarat kepada Teuku Umar jika ingin menikahinya. Tentu sikap  Cut Nyak Din sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh RA Kartini, yang membuat Cut Nyak Din lebih pantas diperingati sebagai hari perempuan Indonesia. 

Hal serupa juga bisa kita lihat  pada Dewi Sartika ( 4 Desember 1884 - 11 September 1947 ) yang hanya menikah kepada lelaki yang sama visi dengannya sehingga  dan membuka sekolah para isteri. Begitu juga dengan Martha Christina Tiahahu ( 4 Januari 1800 – 2 Januari 1818 ) yang dengan gagah berani ikut berperang di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya dilemparkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. 

Tokoh perenmpuan yang paling senior  Nyi Ageng Serang (1752 – 1828 ) Ketika perang Diponegoro meletus, Nyi Ageng Serang turut serta dan didampingi oleh menantunya Raden Mas Pak-pak yang juga ikut bertempur melawan Belanda. Nyi Ageng bertempur dan memimpin pasukannya dari tandu karena usianya yang sudah mencapai 73 tahun. Setelah 3 tahun ikut membantu Pangeran Diponegoro

Studi perbandingan RA Kartni dengan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu dan Nyi Ageng Serang sudah cukup menggambarkan betapa kwalitas perjuangan dari RA Kartini tidak mampu mengimpangi kualitas perjuangan dari tokoh-tokoh perempuan yang menjadi perbandingan.  Itu artinya peringatan hari Kartini sebagai hari perjuangan perempuan adalah sangat sumir dan racuni oleh kepentingan idiologi lelaki. Lelaki mengambarkan pahlawan perempuan itu adalah RA Kartini yang rela dimadu, rela dibatasi dan lemah karena hanya bisa curhat kepada penjajah. Sekali lagi, RA Kartini adalah pahlawan perempuan ciptaan lekaki bukan  pahlawan sebagaimana perempuan yang diimpikan pejuang perempuan sekarang.

Melalui tulisan ini, saya menyarakan kepada perempuan untuk merevisi ketokohan perempuan yang menjadi simbol gerakan perempuan nasional. Ayoo kita mulai sekarang.

(Rawa EL Amady)

ATL Lisan (Asosiasi Tradisi Lisan)




4 komentar:

  1. Kenapa Kartini dijadikan ikon kebangkitan wanita pribumi? Padahal yang dilakukan cuman sekadar "curhat"... kenapa bukan Tjoet Nyak Dien...?? yang jelas-jelas berjuang melawan penjajah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  2. makasih info fakta tentang R.A. Kartini nya kak. . . ....

    sangat bermanfaat. soalnya saya lagi ada tugas sekolah untuk buat artikel ttg R.A. Kartini :)

    BalasHapus