Kamis, 10 Mei 2012

K A J I A N __F O L K O R


"Kebudayaan‟ sesungguhnya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia, dalam rangka kehidupan masyarakat atau dalam rangkan hidup bermasyarakat, yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal itu mengisyaratkan bahwa wujud budaya meliputi tiga hal, yakni ide/gagasan (ideas), tindakan (activities), dan artefak (artifact). Dari wujud budaya ide/gagasan/norma/aturan/nilai itulah kemudian lahir sistem budaya (adat istiadat), dari wujud budaya tindakan/aktivitas/perilaku itulah kemudian lahir sistem sosial, dan dari wujud budaya artefak/produk/hasil itulah kemudian lahir kebudayaan fisik.


Dari ketiga wujud budaya di atas dapat ditegaskan bahwa wujud budaya ide/norma/nilai itulah wujud budaya yang paling abstrak (tidak bisa dilihat, apalagi diraba/difoto/disuting video. Di sisi lain, wujud budaya artefak merupakan wujud budaya yang paling konkret (bisa dilihat, diraba, difoto, disuting video). Sementara itu, wujud budaya aktivitas/tindakan itu dapat dikatakan wujud budaya setengah abstrak dan setengah konkret (bisa diamati tindakannya, bisa difoto atau disuting video, tetapi tidak dapat diraba).
Kebudayaan selalu dalam rangka kehidupan masyarakat atau dalam rangkan hidup bermasyarakat, dimaksudkan kebudayaan tidak terjadi dan berkembang pada orang-seorang, melainkan dalam konteks bermasyarakat. Demikian halnya, kebudayaan dijadikan milik diri manusia dengan belajar, dimaksudkan bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang bersifat given, melainkan sesuatu yang berasal dari manusia sendiri sebagai hasil dari upayanya dalam rangka berpikir, bertindak, dan berproduksi.

Kebudayaan merupakan suatu alat untuk beradaptasi dengan lingkungan. Alat dalam hal ini dimaksudkan media. Lingkungan dalam hal ini adalah alam maupun sosial. Berbagai pengalaman menunjukkan betapa kurangnya kemampuan beradaptasi secara kultural ternyata mampu memacu dan memicu berkembangnya konflik-konflik sosial. Lingkungan alam yang berbeda melahirkan kehidupan kultural yang berbeda. Demikian pula, lingkungan alam sosial yang berbeda melahirkan kehidupan kultural yang berbeda pula.
Yang pasti, kebudayaan itu dibuat oleh manusia (: man made) dan bukan segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan (: God made). Bahwa segala yang diciptakan oleh Tuhan kemudian diberi sentuhan-sentuhan tangan kreatif manusia, seniman misalnya, adalah ‟ya!‟. Sebuah kawasan atau lingkungan alam menjadi semakin indah, menarik, dan menawan setelah digarap dengan sentuhan budaya oleh manusia-manusia kreatif dan inovatif.

Pertanyaan yang kemudian muncul adakah hubungan antara masyarakat dan kebudayaan atau antara kebudayaan dan masyarakat. Ternyata hubungan antara keduanya, masyarakat dan kebudayaan, cukup erat, yakni society is the vehicle of culture. Kebudayaan hanya bisa berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tanpa masyarakat pemiliknya pastilah kebudayaan tidak akan mungkin berkembang. Banyak contoh terjadi, sebuah kebudayaan punah manakala masyarakat pemilik kebudayaan itu habis. Demikian pula, suatu kebudayaan bisa habis atau punah manakala masyarakat pemilik kebudayaan itu – sadar atau tidak – sudah menjauhinya atau meninggalkannya, misalnya karena proses ‟modernisasi‟ (yang dimaknai secara tidak pas) dan aksi ‟globalisasi‟ (yang bisa membuat orang menjadi tamu di rumah sendiri).

Selanjutnya, dari perjumpaan budaya, pertemuan budaya, tegur- sapa budaya – secara lokal, nasional, maupun internasional – dapat saja kemudian terjadi akulturasi budaya (penyesuaian diri), asosiasi budaya (penggabungan), dan degradasi budaya (penurunan). Jika yang terjadi adalah yang pertama dan atau yang kedua, kita tidak perlu khawatir. Sebab, kebudayaan yang ingin berkembang dan lestari pasti harus selalu membuka diri untuk diperkaya oleh budaya lain. Tetapi, jika yang terjadi adalah yang ketiga, kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran kita teramat wajar jika terjadi. Jadilah, wong Jawa ilang Jawane, orang Sunda
 hilang ke-Sunda-annya, orang Minang hilang ke-Minang-annya, orang Bugis kehilangan ke-Bugis-annya, orang Bali hilang ke-Bali-annya, dan seterusnya.

Dalam menghadapi permasalahan yang muncul dalam perikehidupan manusia, ada tiga tahap perkembangan kebudayaan manusia, yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. 


Tahap mistis adalah tahap ketika manusia masih merasakan bahwa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Sehingga, semua solusi, jalan keluar, atau jawaban atas permasalahan- permasalahan itu selalu bersifat mistis, misalnya dalam bentuk sesaji.
Tahap ontologis adalah tahap ketika manusia tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, manusia sudah mengambil jarak dari objek di sekitarnya, dan manusia bahkan mulai melakukan telaah-telaah terhadap objek tersebut. Pada tahap ontologis inilah sebenarnya ilmu mulai berkembang.

Tahap fungsional adalah tahap ketika manusia bukan saja merasa telah terbebas dari kungkungan kekuatan gaib di sekitarnya, manusia sudah pula mempunyai pengetahuan atas telaah-telaah yang dilakukan terhadap objek-objek di sekitar kehidupannya, bahkan manusia sudah memfungsionalkan pengetahuan tersebut untuk kepentingan dirinya/mereka.

Istilah culture pertama kali diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh E.B. Taylor (1865), melalui tulisannya Researches into the Early History of Mankind and the Development of Civilization. Istilah itu diurai lebih lanjut pada bukunya „Primitive Culture‟ (1871), dengan arti: „kesatuan yang menyeluruh yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan semua kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat‟. Selanjutnya, unsur-unsur kebudayaan itu diperjelas atau disempurnakan lagi oleh Kuncaraningrat menjadi tujuh, masing-masing: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. 


Ahli folklor di dunia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
  1. 1)  Ahli folklor HUMANISTIS (humanistic folklorist), yakni ahli folklor yang berlatar belakang ilmu bahasa dan kesusasteraan. Para ahli folklor humanistis tetap memegang teguh definisi W.J. Thoms, yakni memasukkan ke dalam folklor bukan saja kesusasteraan lisan (cerita rakyat dan lain-lain), melainkan juga pola kelakuan manusia (tari, bahasa isyarat), bahkan juga hasil kelakuan yang berupa benda material
    (arsitektur rakyat, mainan rakyat, dan pakaian rakyat).
  2. 2)  Ahli folklor ANTROPOLOGIS (anthropological folklorist), yakni ahli folklor
    yang berlatar belakang ilmu antropologi. Para ahli folklor antropologis membatasi objek kajian pada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat lisan saja (verbal arts), misalnya: cerita prosa rakyat, teka-teki, peribahasa, syair rakyat, dan kesusasteraan lisan lainnya.
  3. 3)  Ahli folklor MODERN (modern folklorist), yakni ahli folklor yang berlatar belakang ilmu-ilmu interdisipliner. Para ahli folklor modern mempunyai pandangan yang terletak di tengah-tengah di antara kedua kutub perbedaan itu tadi. Mereka bersedia mempelajari semua unsur kebudayaan manusia asalkan diwariskan melalui lisan atau dengan cara peniruan.
Apabila suatu ungkapan yang dicipta seseorang tidak hanya diterima dan diakui oleh keluarganya saja, maka ungkapan tersebut akan tersebar luas dan menjadi milik bersama folknya (Adriani dan Kruyt 3, 1914: 357-358). Penyusutan jumlah ungkapan tradisional, seiring dengan tumbuh kembang folknya menuju dunia modern, merupakan bukti makin memudarnya, untuk kemudian menghilangnya ide kolektif. Sekarang, bahkan dapat dikatakan sudah tidak produktif lagi. Demi kepentingan pemerintah kolonial, aliran tua di negeri Belanda sungguh amat berjasa karena antara lain telah membekali generasi mudanya yang akan bertugas di Timur Jauh dengan pengetahuan yang mendalam tentang ungkapan tradisional berbagai suku bangsa Indonesia. Tidak jarang para petugas tersebut mengunci atau membumbui sambutannya upacara resmi dengan ungkapan tradisional (kebijaksanaan kolektif) setempat, sehingga mampu menciptakan komunikasi sambung rasa yang laras. Tidak aneh apabila mereka akan diterima dan dipercaya oleh kolektif tempat mereka bertugas (de Kat Angelino, 1929: 871). Hal yang demikian itu, barang tentu merupakan langkah awal yang baik untuk kerjasama lebih lanjut. Bascom (1965 a: 3-20) yang dikutip Danandjaja (1984: 19) mengatakan bahwa kalimat-kalimat stereotipik yang telah membeku itu merupakan kebijaksanaan kolektif yang di samping mencerminkan angan-angan kolektif, juga berfungsi sebagai alat pendidikan, maupun alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Sebagai ilustrasi, baiklah dinukilkan dua buah kebijaksanaan kolektif Batak, yang sekalipun dicap sebagai "Weisheit von der Gasse", benar-benar mencerminkan angan-angan kolektif, bahkan melambangkan etik dan moral dari sistem nilai budaya yang telah berurat berakar dalam kehidupan folk pendukungnya.

  1. (a)  Na dong ni lompa, sitongka i duduon,
    Na dong ni dok, Sitongka i ubaon.
  2. (b)  Hata manundjung hata lalaen,
    Hata na torop, sabung- an ni hata.

'Yang sudah dimasak, Pantang ditebah, Yang Sudah terucap, Pantanglah diubah.
(Braasem, 1951: 55)
'Kata seorang, adalah kata orang gila, Kata orang banyak adalah utama.
(Braasem, 1951: 120)

Kebijaksanaan kolektif dengan mudahnya dapat kita temukan pula dalam khasanah folklor berbagai suku bangsa kita (cf. Hooykaas, l947: 8- 17; Hurgronye ll, 1894: 76; Adriani & Kruyt 3, 1914: 492; Swellengrebel, 1950-1951: 159-209 dan 280-325; dan 1952-1953: 118-161).

III Apabila kita amati, sekalipun dewasa ini ungkapan tradisional Jawa sudah tidak produktif lagi, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ungkapan tersebut merupakan warisan rokhani yang telah melembaga dalam kehidupan seluruh lapisan folk pendukungnya. Ungkapan tradisional Jawa dibedakan menjadi 3 kelompok, yakni paribasan, bebasan, dan saloka. Sebenarnya ketiga kelompok tersebut termasuk golongan tembung entar 'kata kias', sebab ketiganya tidak mungin diartikan secara lugas. Jika paribasan, bebasan, dan saloka selalu ajeg, tembung entar tidak demikian. Dalam percakapan sehari- hari ketiga jenis itu demi mudahnya disebut paribasan. Padmosoekotjo (I, 1958: 51-52) telah memberi batasan yang cukup jelas mengenai ketiga macam ungkapan tradisional Jawa. Cukup menarik adalah Layang Bebasan Lan Saloka (Mertosendjaja, 1921), berisi 95 buah ungkapan tradisional Jawa, masing-masing diawali dengan ceritera yang berfungsi sebagai penjelas makna ungkapan-ungkapan tersebut. Keyser (1862 dan 1862 a, dalam Danandjaja, 1984: 30) mengklasifikasi ungkapan tradisional Jawa ke dalam lima golongan :

(a) peribahasa mengenai binatang (b) peribahasa mengenai tanam-tanaman
(c) peribahasa mengenai manusia (d) peribahasa mengenai anggota kerabat, dan (e) peribahasa mengenai fungsi anggota tubuh.

Sekalipun klasifikasi Keyser ini belum mencakup semua khasanah ungkapan tradisional Jawa, di bawah ini penulis mencoba mengetrapkannya pada genre folklor Jawa tersebut dengan mengingat batasan yang diketengahkan Padmosoekotjo tersebut.

a. Ungkapan tradisional mengenai binatang
Bebasan:
(1) Dikena iwake, aja buthek banyune „Apa yang dimaksud agar bisa tercapai, tanpa menyebabkan keonaran‟. (2) Sandhing kirik gudhigen atau Sandhing (cedhak) kebo gupak atau Sandhing celeng boloten „Bergaul dengan orang jahat pasti akan ketularan menjadi jahat‟.
(3) Dicuthat kaya cacing „Diusir dengan cara yang kejam sekali‟. Saloka:
(1) Singa papa ngulati mangsa „Pembesar yang melarat hidupnya pergi ke
desa mencari kebutuhan hidup‟. (2) Bremana amangun lingga Lelaki memamerkan ketampanan dan
kelebihannya di depan wanita. (3) Manuk mencok dudu pencokane, rupa dudu rupane „Segala sesuatu yang mencurigakan harus selalu dihadapi dengan sikap hati-hati‟.

b. Ungkapan tradisional mengenai tanam-tanaman
Bebasan:
(1) Cikal atapas limar 'Keuntungan yang langka‟. (2) Ngaub awar-awar 'Mengabdi orang melarat atau orang yang tidak mempunyai kekuasaan'. (3) Nyugokoke kayu sempu 'Mencalonkan orang yang kurang pandai, karena
masih ada hubungan keruarga atau karena teman karib‟.

Saloka:
(1) Ketepan(g) ngrangsang gunung 'Orang miskin (lemah) bercita-cita tinggi'. (2) Timun mungsuh duren 'Orang lemah bermusuhan dengan orang kuat'. (3) Gambret singgang mrekatak ora ana sing ngeneni 'Perawan kenes tidak ada yang melamar, sebab tidak ada yang mau mengambil isteri'.
c. Ungkapan tradisional mengenai manusia

Paribasan:
(1) Giri lusi, janma tan kena ingina 'Tidak boleh menghina sesama, sebab selagi cacing merangkak, akhirnya bisa mencapai (puncak) gunung juga, apalagi manusia, tidak boleh dihina'.
(2) Cobolo mangan teki 'Orang bodoh tidak pantas bila makan nasi atau makanan biasa, dan hanya pantas makan rumput saja‟.
(3) Saksi rumembe 'Semula hanya mempunyai satu saksi, tetapi kemudian mengajukan dua saksi atau lebih'.

Bebasan:
(1) Lanang kemangi 'Lelaki penakut, tidak berani berjuang, seyogianya diolah menjadi pecel saja'.
(2) Nyangoni kawula minggat 'Memperbaiki sesuatu yang sudah sangat rusak terkadang dengan biaya banyak sekali, padahal sebentar lagi barang tersebut sudah dibuang (tidak dipakai), karena pasti akan rusak lagi'.

Saloka:
(1) Dhalang krubuhan panggung 'Orang yang tampak kebohongannya terpaksa diam tidak berani bicara lagi'.
(2) Durniti wiku manik retna adi 'Orang pandai yang tidak mau mengajari orang lain, adalah kurang baik‟.
(3) Sara prana pendhita murcita 'Orang baik mendapat celaka sebab mengajari ilmu kejahatan/akan memberi sarana kepada orang jahat‟.
d. Ungkapan tradisional mengenai anggota kerabat

Paribasan:
(1) Kadang konang 'Yang diaku saudara hanya sanak saudara yang kaya, priyayi, dan yang berpangkat tinggi saja‟.
(2) Dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan 'Walaupun orang lain, tetapi jika sedang menderita pasti dibantu atau dibela‟.
(3) Bapa kesulah, anak kepolah 'Anak berkewajiban bertanggung jawab atas perkara ayahnya yang telah wafat‟.
e. Ungkapan tradisional mengenai (fungsi) anggota tubuh

Paribasan:
(1) Gliyak-gliyak tumindak, sareh pakoleh ‟Sekalipun perlahan-lahan, tetapi terus ajeg usahanya, pasti akhirnya akan tercapai juga cita-citanya‟.
(2) Njunjung ngentebake 'Memuji tetapi mengandung maksud meremehkan (merendahkan)'.

Bebasan:
(1) Kerot tanpo untu ‟Mempunyai tujuan (cita-cita, inisiatif) tetapi tidak mempunyai sarana'.
(2) Ngregem kamarung 'Melayani orang yang sulit sekali wataknya, sehingga mungkin sekali, bahkan bisa mencelakakan yang melayani‟.
(3) Lidhah sinambungan, karna binandhung ‟Hanya mendengar dari perkataan orang lain, bukan dari sumbernya‟.
(4) Diwenehi ati ngrogoh rempela ‟Sudah diberi kelonggaran, masih minta agar diberi lebih banyak lagi‟.

Saloka:
(1) Cuplak andheng-andheng ora prenah panggonane ‟Orang yang menyebabkan celaka sanak saudara, teman, dan lain-lain, seyogianya disingkirkan'.
Setelah dikemukakan secara acak contoh-contoh klasifikasi Keyser dengan mengingat batasan Padmosukotjo (vide halaman 7) selanjutnya akan dicoba mengetrapkan pendapat Bascom (vide halaman 5) pada khasanan ungkapan tradisional Jawa. Sulit untuk membebaskan mana yang mencerminkan angan-angan kolektif, mana yang berfungsi sebagai alat pendidikan, alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, maupun alat pemaksa dan pengawas masyarakat yang selalu dipatuhi anggota kolektifnya, sebab kadang-kadang tumpang-tindih.

Baiklah kita simak contoh-contoh di bawah ini.

A. Yang Mencerminkan Angan-angan Kolektif
(1) Ajining dhiri ana ing pucuking lathi 'Kewibawaan dan kehormatan pribadi seseorang terletak pada ujung lidahnya'. Maksudnya: Terhormat atau tidaknya seseorang tergantung pada tutur kata orang tersebut dalam pergaulan sehari-hari.
Memang tutur kata mencerminkan pribadi seseorang; dari tutur kata, santun bahasanya dapat diketahui asal-usul, pendidikan, dan watak seseorang. Bila seseorang tutur katanya kasar, tajam melukai hati, cenderung mencela dan meremehkan, akan mengakibatkan percekcokan, tidak disukai, dan akhirnya akan tersisih dari pergaulan. Begitu pula dalam mengemban tugasnya sehari-hari, sangatlah penting bagi orang tua, pendidik, pemimpin, pejabat, dan lain-lain agar selalu mewujudkan satunya kata dengan perbuatan.
(2) Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti 'Keberanian, kemenangan, dan kekuasaan duniawi akan lebur oleh keluhuran budi‟. Pengalaman membuktikan bahwa segala sesuatu, bahkan iktikad tidak baik, kecongkaan, kemarahan, iri, dengki, dan lain-lain hanya dapat dikalahkan oleh keluhuran budi. Keluhuran budi memang merupakan watak ideal. Luhur adalah sifat Tuhan, manusia hanya dapat ngirib-iribi 'hampir menyamai' saja. Barang siapa yang dalam hidupnya selalu mewibawakan Tuhan, bulat imannya, kemampuannya akan dikembangkan Tuhan, sehingga manusia mempunyai potensi untuk berbudi pekerti luhur. Manusia seperti itu tidak akan dikuasai oleh pasang surutnya kehidupan.

B. Yang Berfungsi sebagai Sarana Pendidikan
(1) Aja dhemen metani alaning liyan 'Jangan senang mencari keburukan, kesalahan orang lain'.
Pada umumnya manusia cenderung mencari dan membicarakan keburukan dan kelemahan orang lain, yang demikian itu berarti bahwa manusia tidak mempunyai piyandel ‟iman‟ yang murni, pertanda kekerdilan jiwa. Tidak ada manusia yang sempurna, sebab sudah dikodratkan, bahwa manusia di samping sifat-sifatnya yang positif, pasti mempunyai kelemahan. Manusia bersifat apes ‟lemah, sial‟. Lebih utama jika kita selalu mau mawas diri, jujur dan bersikap terbuka terhadap kritik yang membangun, sehingga kita setapak demi setapak bisa meningkatkan diri dalam membina watak utama. Jika kita bertekun dalam mengolah watak kita sendiri, kita tidak akan mempunyai waktu untuk mencari dan membicarakan keburukan, kesalahan orang lain. Baiklah kita berlatih untuk selalu bisa mengekang diri sendiri, keras terhadap diri sendiri, tetapi di dalam pergaulan bersikap penuh pengertian, sabar, dan toleran.
(2) Aja mung milik gebyar 'Jangan hanya mengingini segala sesuatu yang serba kemilau‟.
Tanpa mengingkari manfaat yang kita peroleh dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri, terasa pula dampaknya yang negatif, antara lain: pola dan gaya hidup konsumtif kompetitif. Maka jangan sampai kita tergiur oleh kemilau dunia. Kita hendaknya bersikap waspada, sehingga mampu membedakan kebutuhan dari pepinginan ‟keinginan‟. Banyak contoh: rumah tangga hancur berantakan akibat yang bersangkutan tidak dapat mengekang diri, hidup bermewah-mewah, di atas batas kemampuan, bahkan sampai terperosok ke dalam perbuatan tercela. Apabila kita benar-benar telah menghayati makna ungkapan tersebut, kita akan mengutamakan urip prasaja ‟hidup sederhana‟, karena yakin cara inilah yang akan menjamin ketenteraman dan kebahagiaan.
(3) Yen wania ing gampang wedia ing ewuh sebarang oro tumeko 'Apabila kita hanya berani menghadapi yang mudah-mudah saja, tetapi takut menghadapi kesulitan, barang apa yang dicita-citakan mustahil akan
 terwujud. Ibarat orang bepergian, mudah atau sulitnya jalan yang harus ditempuh, cepat lambatnya sampai di tempat tujuan, hanya tergantung pada orang yang menempuh, apakah upayanya berlandaskan kesentosaan tekad disertai pengorbanan, atau hanya seenaknya saja. Seorang petani bisa panen setelah mandi keringat, membajak, menyebar benih, selanjutnya dengan sabar dan tekun memelihara (menjaga) agar benih yang disebar tumbuh dengan subur, tidak mengeluh kehujanan, dan ditimpa terik sinar matahari. Tidak ada usaha keras yang tidak berguna, tidak ada pengorbanan yang sia- sia, tidak ada doa tulus yang tidak didengar (diterima).
C. Yang Berfungsi sebagai Alat Pengesahan Pranata dan Lembaga Kebudayaan
(1) Negara mawa tata, desa mawa cara 'Negara memiliki peraturan, desa memiliki adat istiadat'.
Ke mana pun kita pergi, di mana pun kita berada, hendaknya pandai membawakan diri, sebab tiap-tiap negara, daerah, desa mempunyai perangkat peraturan, adat istiadat, dan tata nilainya masing-masing, yang wajib kita hormati. Dengan demikian, kita mampu menciptakan suasana laras dalam pergaulan antarsesama, bangsa, dan negara.
(2) Kenthung kriyung cakiker asu gathik lni adalah bebasan orang pedesaan yang maksudnya:
a) Jika terdengar bunyi kenthung 'tiruan bunyi orang menumbuk padi', kriyung 'tiruan bunyi jun atau lodhong yang dimasukkan dalam air saat orang menimba‟, cakiker ‟tiruan bunyi kokok ayam hutan‟, dan salak anjing, adalah pertanda fajar telah menyingsing, saat orang desa mulai bekerja di sawah.
b) Juga dipakai sebagai pedoman pelaksanaan denda, jelasnya: jika ada seorang anggota desa berzinah sampai mengakibatkan kehamilan, orang- orang desa yang menggunakan satu alat penumbuk padi (Jw: lesung), satu sumur, satu tempat ayam-ayam piaraan berkeliaran mencari makan, dan anjing-anjing mencari pasangannya, maka mereka harus ikut memikul tanggung jawab dan dikenai denda. Dengan demikian, jelas bahwa masyarakat pedesaan merupakan satu kesatuan, lengkap dengan perangkat peraturan dan adat istiadatnya yang harus dipatuhi tiap-tiap anggota.

Kesadaran hukum masyarakat desa sejak zaman dahulu sudah cukup tinggi (cf Pigeaud I, 1960: 104; Jonker, l885).

D. Yang Berfungsi sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas Norma Masyarakat
(1) Aja nggege mangsa 'Jangan mempercepat waktu', manusia Jawa pada dasarnya menjunjung tinggi kelestarian tertib sosial, tertib kosmos, dan tertib religi. Ia beranggapan bahwa segala sesuatu seyogianya berjalan sewajar-wajarnya, semua membutuhkan proses waktu. Jangan sekali-kali kita mendahului atau mengambil jalan pintas. Baiklah kita bercermin pada alam. Sebagai contoh sederhana, apabila kita memetik buah sebelum saatnya / masak, pasti tidak enak rasanya. Lain halnya jika kita menunggui proses alami dengan tekun dan sabar. Begitu pula misalnya sepasang muda-mudi yang memadu cinta, tidak dibenarkan hidup sebagai suami-istri, sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah digariskan oleh hukum agama/negara bagi sahnya suatu perkawinan. Hal ini berlaku bagi usaha apa saja. Hasilnya diperoleh berkat kejujuran, ketekunan, dan kesabaran. Jadi, manusia harus mampu mengendalikan diri, tidak keburu nafsu, dan mematuhi norma yang berlaku.

(2) Srengenge pine, banyu kinum, bumi pinendhem

Arti lugas: matahari dijemur, air direndam, bumi dipendam, maksudnya: matahari, air, dan bumi mengibaratkan raja, patih, dan jaksa pada saat mengadili suatu perkara. Pemeriksaannya jelas seperti terangnya matahari, putusannya adil seperti tegaknya air dalam gelas, botol, bejana; tutur katanya lemah lembut lagi ramah, pertanda berbudi, tidak menghina (meremehkan) orang yang diadili (cf Denta denti, kusuma warsa, sarira cakra) yang mengibaratkan pengadilan yang tegak, kukuh seperti gigi, jika telah menjongkar, sudah tidak mungkin masuk lagi; bunga jika telah mekar, tidak bisa menjadi kuncup kembali; hujan jika telah jatuh tidak bisa dihentikan. Maka: jatuhnya keputusan pengadilan seperti senjata cakra yang menghunjam mengenai sasaran. Ungkapan tradisional ini menyatakan
bahwa orang Jawa menghargai putusan yang adil dan bertanggung jawab, berdasar pemeriksaan yang seksama teliti.

Selanjutnya untuk membedakan Folklor dari Kebudayaan, maka harus diperhatikan bahwa Folklor mempunyai beberapa ciri yang dapat membedakan dengan Kebudayaan pada umumnya. Adapun ciri-ciri folklor tersebut sebagai berikut: (1) Folklor penyebaran dan pewarisannya secara lisan, disiarkan melalui
tutur kata dari mulut ke mulut. (2) Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk tetap atau
standar dalam waktu yang cukup tama.
  1. (3)  Folklor mempunyai bentuk aneka macam karena disebarkan secara lisan. Walau ada perubahan bentuk, tetapi dasarnya sama.
  2. (4)  Folklor bersifat anonim, penciptanya tidak diketahui. Bahkan mungkin tidak hanya 1 orang saja, melainkan dicipta suatu kelompok.
  3. (5)  Folklor berbentuk berumus dan berpola. Biasanya memakai kata-kata dan kalimat klise dan ungkapan tradisional.
  4. (6)  Folklor bersifat pralogis, ialah logikanya tidak sesuai dengan logika umum. Ini berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
  5. (7)  Folklor menjadi milik bersama, karena penciptanya tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota merasa ikut memiliki.
  6. (8)  Folklor bersifat polos dan lugu, walau ada juga folklor yang merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur.
  7. (9)  Folklor dapat saling mempengaruhi, atau timbulnya bersamaan antara suatu daerah dengan daerah lain.
Bentuk, Fungsi, dan Sifat Folklor Indonesia
A. Bentuk Folklor James Danandjaja (hal. 21 dst.) menyatakan bahwa folklor
mempunyai tiga kelompok besar, yaitu: Folklor Lisan, Folklor Bukan Lisan, dan Folklor Sebagian Lisan. Penjelasannya sebagai berikut:
(1) Folklor Lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah:
a) bahasa rakyat, seperti: logat, julukan, dan sebagainya. b) ungkapan tradisional, seperti: peribahasa, pepatah, pemeo. c) pertanyaan tradisional, seperti: teka-teki. d) puisi rakyat, seperti: pantun, gurindam, syair. e) cerita prosa, seperti: mite, legende, dongeng. f) nyanyian rakyat.
(2) Folklor Sebagian Lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan.
Misalnya: kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater, tarian, adat- istiadat, upacara, pesta, batu permata, dan sebagainya.
 (3) Folklor Bukan Lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
Kelompok ini dibagi menjadi dua, ialah: a) Material, seperti: arsitek rakyat, kerajinan tangan, pakaian, perhiasan, masakan, minumam, obat tradisi. b) Bukan Material, seperti: musik rakyat, gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat komunikasi rakyat, dan sebagainya.
B. Fungsi Folklor Adapun fungsi folklor ada empat (James Danandjaja, hal. 19), yaitu: (1) Sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif. (2) Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan. (3) Sebagai alat pendidikan anak, dan (4) Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma masyarakat
dipatuhi.

Di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut.
C. Sifat Folklor Folklor yang baik mempunyai salah satu dari tujuh macam sifat ialah (Ny. Yoharni dkk: 1979:10):
(1) Bersifat didaktis (2) Bersifat kepahlawanan (3) Bersifat keagamaan (4) Bersifat pemujaan (5) Bersifat adat (6) Bersifat sejarah, dan (7) Bersifat humoris.
III. Bentuk Folklor di Jawa Tengah
Pembagian seperti tersebut pada II A di atas, di Jawa Tengah ada dan masih berkembang, walaupun perkembangannya tidak seperti kesusastraan Indonesia masa kini. Namun, bahwa macam-macam bentuk folklor itu ada, dapat dilihat dari berbagai contoh berikut ini.

A. Folklor Lisan
1. Bahasa Rakyat
Di Jawa Tengah ada lima macam bahasa rakyat yang masih dipakai baik di dalam percakapan atau termasuk pula dalam kesusastraan lisan. Lima macam itu ialah:

(a) Logat atau dialek
Di samping bahasa Sala sebagai bahasa Jawa standar atau baku, di sekitar kraton itu ada logat atau dialek yang sering tidak sama bahasa dan kata-katanya dengan bahasa baku. Kita kenal adanya dialek Bagelen/Kedu, Jepara Pati, Tegal, dan Banyumas. Misalnya :

- Kon arep maring ngendi, adhimu ngorong kepengin nginung ? - Nyong arep maring gili, primen bisa apa belih, sekiki gentenan karo koen. (Bahasa Jawa biasa/ngoko): - Kowe arep menyang endi, adhimu ngelak kepengin ngombe ? - Aku arep menyang dalan, kepriye bisa apa ora, sesuk gentenan karo
kowe.

Bahasa lndonesia: - Engkau hendak ke mana, adikmu haus ingin minum. - Aku hendak ke jalan, bagaimana boleh tidak, besok pagi gantian dengan engkau.

(b) Kerata basa atau etimologi
Dalam bahasa Jawa dikenal apa yang disebut Kerata basa, yaitu memberi arti kata atau mencari asal-usul kata dengan cara melihat hubungan kedua kata tersebut. Tentu saja hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, Kerata basa dapat dikatakan ”Volksetimologie" atau etimologi rakyat. Sebaliknya, bila mencari asal-usul kata itu berdasarkan pengetahuan ilmiah, itulah yang disebut etimologi yang benar.

Beberapa contoh Kerata basa: - Wedang: gawe kadang, ngawe kadang (membuat bersaudara,
mengajak bersaudara). Padahal, sesuai dengan arti katanya ‟wedang‟ itu berarti we atau air yang di-dang yaitu dimasak. - Kutang: sikute diutang (sikutnya dihutang). Baju kutang itu baju dalam tidak dapat dikatakan baju yang menghutang siku. - Tepas: titip napas. Orang ber-tepas itu katanya minta napas / hawa yang pernah dititipkan. - Cangkir: nancang pikir. Orang duduk-duduk minum teh dari cangkir yang tersedia itu berarti ‟pikir mereka‟ telah diikat untuk minum. - Garwa: sigaraning nyawa (sebagian / separo nyawa / jiwa). Orang yang sudah berumah tangga itu nampaknya dua orang, tetapi menurut faham ini, sebenarnya sudah bersatu, isteri adalah bagian dari suami.

Tentu Kerata basa serupa itu yang sering masih dipergunakan dalam percakapan kurang tepat benar. Itulah sebabnya, kita sebut sebagai etimologi rakyat. Sedang etimologi yang sebenarnya, misalnya: - Kata ‟telepon‟: di Sumatra masih ada orang yang beranggapan bahwa kata telepon itu kata ‟tali + po(o)n‟, yaitu kiriman berita dari / lewat tali- tali di pohon. Padahal kita tahu bahwa kata ‟telephon‟ dari kata tele artinya jauh dan kata phon artinya suara atau bunyi; jadi telepon = bunyi dari jauh.

- Kata ‟Pandawa‟: di Jawa Tengah masih ada dalang wayang kulit mengartikan ‟Pandawa‟ itu terjadi karena adanya hawa (nafsu) sang Pandu. Jadi, sebab nafsu sang Pandulah terjadi lima orang yang disebut Pandawa itu. Padahal, kata Pandu berubah menjadi Pandawa itu karena adanya "wredi" yaitu perubahan kata yang berarti anak atau keturunan. Anak sang Pandu ialah Pandawa; anak sang Ragu ialah Ragawa; keturunan sang Kuru ialah Kaurawa.

- Kata "wanita": tidak boleh diartikan "seseorang yang wani / berani menata / mengatur. Sebab, kata wanita itu erat hubungannya dengan kata "to want" (ingin sesuatu). Wanita adalah seseorang yang diingini (diinginkan) oleh seseorang (pria).

 - Kata "cara": Kalau kita harus mengartikan kata-kata dengan cara yang banyak itu, seperti 'carita, caraka, carana, dan sebagainya. Kita ambil dahulu bahwa kata cara itu akar katanya car yang berarti "berjalan". Carita adalah "yang sudah berjalan"; caraka ialah ”yang berjalan = utusan”; carana yaitu alat yang dapat berjalan = tempat sirih yang dari besi / perak diberi roda, sehingga dapat berjalan.

- Kata "masjid": Kalau kita harus mencari asal-usul kata masjid, harus dikembalikan kepada kata ‟sajada‟ yang berarti sujud. Dari kata itu akan tejadi kata-kata yang sudah kita kenal seperti sajadah, sujud, dan masjid itu.

(c) Gelar atau julukan
Di Jawa Tengah ada gelar kebangsawanan dengan urutan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, yaitu mas, raden, raden mas, raden panji, raden tumenggung, raden ngabehi, raden mas panji, raden mas aria (untuk pria); sedang untuk wanita adatah raden rara, raden ajeng, dan raden ayu (James, hal. 26).
Julukan atau "paraban" dalam bahasa Jawa ialah sebutan kepada seseorang karena bermacam-macam sebab, sehingga kita kenal adanya julukan seperti: mBah Johar (rumahnya dekat pohon johar); pak Kumis (seseorang yang kumisnya tebal); Man Jagal (tukang potong hewan); Bi Braok (bibi yang suaranya keras); Mbok Randha Dhadhapan (seseorang janda yang tinggal di desa Dhadhapan); Kang Kresna (abang yang kulitnya hitam); Si Kuncung, Peyang, Penjol, dan sebagainya.

(d) Jargon atau kata-kata rahasia
Pada kelompok tertentu sering diucapkan sesuatu kata yang hanya berlaku untuk kelompoknya sendiri, jadi seolah-olah kata-kata rahasia di kalangan mereka. Maksudnya, agar mereka selamat atau tujuan mereka tidak segera diketahui orang lain. Barangkali juga mereka ingin menghindarkan diri dari malapetaka yang mungkin timbul kalau mereka memakai nama barang yang mereka sebut.
Di sini ada yang disebut bahasa tabu atau pantang bahasa. Msalnya: untuk menyebut harimau, diganti dengan nenek atau kyaine.

Untuk mengatakan ular, dipakai kata oyod (akar); demikian pula kata tikus diganti dengan den baguse. Di samping itu, untuk keperluan pengobatan diubah pula beberapa nama benda, misalnya: kalau sang Dukun mengatakan 'Berilah si sakit itu adas pulowaras, ada harapan bagi keluarga si sakit, sebab si sakit bakal waras atau sembuh. Demikian pula, jika si sakit bisa diberi makan sayur „bayem‟, keluarga boleh gembira atau "ayem", karena si sakit bakal sembuh. Tetapi, jika pak Dukun mengatakan agar si sakit dibedaki dengan „daun pisang muda‟, berarti tak ada harapan si sakit akan sembuh. Sebab, daun pisang muda itu dalam bahasa Jawa namanya pupus, ini berarti keluarga harus mupus, artinya menyerah kehendak Tuhan.
(e) Slang atau bahasa kaum muda

Slang ini adalah bahasa rahasia kaum muda agar apa yang mereka lakukan lebih-lebih yang kurang baik tidak dapat segera diketahui umum. Bahkan, James Danandjaja (hal. 23) mengatakan bahwa slang adalah kosa kata atau idiom para "penjahat gelandangan” atau kolektif khusus. Maksud diciptakannya bahasa slang ini untuk menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar.

Misalnya: jengkol = kaca mata; rumput = polisi; bahenol = gadis manis.

Ada cara lain membuat slang ini ialah dengan membalikkan suku kata, sehingga kata: kowe = woke; lunga = ngula; njaluk = lanjuk. Ada kalanya menyisipi bunyi "ask", sehingga kata: turu = turasku; mulih = mulaskih; njupuk = njupaskuk; mati = mataski; dan sebagainya.

Dapat pula dimasukkan ke dalam slang ini ialah kata-kata yang diubah penulisannya dengan ejaan ‟semaunya‟. Misalnya: Barisan Gombal; Kelompok Breskseks; Gang Jerman (Jejer Kauman).

2. Ungkapan Tradisional
Yang dimaksud dengan "Ungkapan Tradisional” adalah kalimat yang berisi 'uraian' yang tepat dalam menanggapi berbagai masalah dalam masyarakat. Ungkapan itu bisa berwujud ”Paribasan, Bebasan, Saloka, Pepindhan, dan Panyandra”. James Danandjaja (ha1. 28) mengutip pendapat Cervantes mengatakan bahwa peribahasa adalah "Kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman panjang". Sedang Bertrand Russel menyatakan bahwa peribahasa adalah "Kebijaksanaan orang banyak yang merupakan kecerdasan seseorang".

Adapun Ungkapan Tradisional masyarakat Jawa Tengah ialah:

(a) Paribasan Yaitu ungkapan atau kalimat yang mempunyai makna sebenarnya, bukan arti kiasan atau perumpamaan. Contoh:

 Sadumuk bathuk, sanyari bumi; artinya "perselisihan tentang wanita (istri) dan tanah, biasanya nyawa taruhannya”. Anak polah bapa kepradhah; artinya "orang tua harus ikut bertanggung jawab terhadap tingkah laku yang dikerjakan oleh anaknya".

Sepi ing pamrih, rame ing gawe; artinya "bekerja yang baik itu seyogianya tidak dengan maksud mengharapkan imbalan". Durung pecus, keselak besus; artinya "belum mempunyai kepandaian, tetapi sudah banyak keinginannya, misalnya mau kawin".

Jumambak manak, jemebeng meteng; artinya "Orang yang kerap kali beranak atau melahirkan. Baru saja rambutnya nampak, bersalin lagi". Lengkak-lengkok, ora wurung ngumbah popok; artinya "perempuan itu biasanya kalau ditanya untuk berumah tangga tidak mau, tetapi kenyataan atau akhirnya toh mau, tugasnya mencuci popok anaknya".

Wong wadon iku paribasane swarga nunut, nraka katut; artinya "perempuan itu peribahasanya hidupnya tergantung kepada laki-laki". Pendapat ini sekarang tentu dibantah oleh kaum wanita, tidak tepat. Kebat kliwat, gancang pincang; artinya "bekerja dengan tergesa-gesa itu biasanya malah banyak kerugiannya".
Yatna yuwana, lena kena; artinya "siapa yang bekerja dengan berhati- hati akan selamat, sedang yang lalai akan mendapat celaka".

Adigang, adigung, adiguna; artinya "orang yang selalu mengandalkan
kekuatan, keluhuran, dan kepandaiannya, biasanya tidak baik".

(b) Bebasan
Ialah ungkapan atau kalimat tetap berisi arti kiasan, yang diumpamakan keadaan atau tingkah laku manusia. Contoh:

 Diwenehi ati ngrogoh rempela; artinya ”sudah diberi kebaikan, masih kurang lagi, minta yang lebih baik lagi”. Lambe satumang kari samerang; artinya ”orang yang sudah berulangkali memberi nasehat, tetapi selalu tidak diperhatikan saja”. Dikena iwake aja nganti buthek banyune; artinya ”hendaknya yang dituju berhasil, tetapi jangan sampai merugikan pihak lain”.

Emban cindhe emban siladan; artinya ”janganlah membeda-bedakan antara dua hal sebab berarti tidak adil tindakannya”. Madu balung tanpa isi; artinya membahas suatu masalah yang sepele, tidak banyak manfaatnya”.

Kerot tanpa untu; artinya "mempunyai rencana yang akan dilaksanakan, tetapi tidak mempunyai syarat atau sarana melaksanakannya”. Nututi layangan pedhot; artinya ”mengusahakan kembalinya sesuatu yang sepele yang telah hi1ang, walau bertemu, manfaatnya tidak besar lagi”.

Dudu berase ditempurake; artinya ”ikut berbicara, tetapi tidak sesuai dengan yang sedang dimasalahkan”.
Nggutuk lor kena kidul; artinya ”orang menyatakan sesuatu, tetapi tidak dengan berterus terang, jadi dengan jalan menyindir”.

Nyempal sambi mancal; artinya ”pembantu yang meninggalkan rumah
tuannya dengan membawa barang-barang tempat dia bekerja”.

(c) Saloka
Sebenarnya kata saloka itu dari sloka bahasa Sansekerta, tetapi setelah menjadi warga bahasa Jawa mempunyai arti khusus. Dalam pengertian ini saloka ialah "Ungkapan atau kalimat tetap mengandung arti
kiasan, sedang yang diumpamakan ialah orang dan perwatakannya”. Contoh:

Gajah ngidak rapah; artinya ”orang yang melanggar aturannya sendiri, atau orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya”. Kebo nusu gudel; artinya ”orang tua yang minta diberi tahu atau mencari ilmu kepada orang muda (biasanya yang muda berguru kepada si tua).

Asu gedhe menang kerahe; artinya ”orang yang tinggi pangkatnya biasanya bila bersengketa dengan orang rendahan, tentu yang tinggi menang".

Pitik trondhol diumbar ing pedaringan; artinya "orang yang bersifat jahat dan melarat diberi kepercayaan akan kesenangannya, tentu habis".

Timun wungkuk jaga imbuh; artinya "orang bodoh atau golongan rendahan biasanya dimanfaatkan bila ada kekurangan, jadi cadangan saja". Cengkir ketindhihan kiring; artinya "orang yang kalah perbawa karena kalah tua; atau orang ingin kawin tidak dapat karena kakaknya belum".

Bathok bolu isi madu; artinya "orang golongan rendah, tetapi mempunyai kepandaian dan kemampuan dalam berbagai hal". Kemlandheyan ngajak sempal; artinya "orang menumpang atau sanak saudara yang mengajak ke arah kesengsaraan".

Dudutan lan anculan; artinya "dua orang yang sudah bersepakat untuk melakukan tindakan yang tercela".

Tunggak jarak padha mrajak tunggak jati padha mati; artinya "keturunan orang rendahan dapat menjadi orang berpangkat, sedang keturunan orang tinggi atau berpangkat malah tidak ada yang jadi ‟orang‟".

(d) Pepindhan Adalah ungkapan atau kalimat tetap yang mengandung arti perumpamaan tentang manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda lainnya, maupun tingkah lakunya. Di sini yang dipentingkan ialah bentuk kalimatnya.
Contoh:

1) Baguse kaya Janaka, ayune kadya Wara Sumbadra; artinya "orang
yang tampan bagaikan Janaka dan cantiknya sepeiti Wara Sumbadra". Suatu perumpamaan klasik biasanya nama wayang (kulit) yang dibawa-bawa.
2) Mbranyake kaya Samba utawa Dewi Srikandhi; artinya "orang yang tangkas cekatan jika pria seperti Samba, wanita seperti Srikandi".
3) Swarane kaya mbelah-mbelahna kuping; artinya "suara yang keras sekali, seolah-olah dapat memecahkan kendang telinga".
4) Cethile kaya Cina craki; artinya "orang yang kikir itu diibaratkan seperti orang Cina penjual obat".
5) Tandange kaya bantheng ketaton; artinya "sepak terjangnya seperti banteng yang sedang luka parah, jadi kuat dan buas sekali".
6) Renggang gula kumepyar pulut; artinya "persekutuan yang erat sekali seolah-olah gula saja masih bersatu".
7) Parine nedheng gumadhing; artinya padi yang mendekati tua itu warnanya kuning bagaikan warna gading gajah”.
8) Rupane kaya jambe sinigar; artinya ”rupa dan bentuknya serupa benar bagai orang kembar, seperti jambe yang diparo dua”.
9) Brengose nglaler mencok; artinya „‟bentuk kumisnya seperti lalat yang sedang hinggap atau bertengger di suatu tempat manis”.
10) Grana rungih pindha kencana pinatar; artinya „‟bentuk hidung yang mancung bagaikan emas yang digosok dibentuk hingga manis sekali".
(e) Panyandra
Ialah ungkapan atau kalimat yang berisi pelukisan atau penggambaran sesuatu yang indah, menarik, dan nampak istimewa bagi penulis, pelukis. Yang dicandra biasanya keindahan anggota tubuh manusia, walaupun juga tingkah laku dan hal-hal lain yang menarik sang penulis.
Contoh:

1) Sowane Raden Janaka ngrepepeh-ngrepepeh pindha sata manggih krama; artinya ialah bahwa "kedatangan Raden Janaka di penghadapan itu merendah-rendahkan diri bagaikan ayam jantan bertemu betinanya".
2) Tandange Raden Gathotkaca cukat kadya kilat, kesit kadya thathit; artinya bahwa “sepak terjang Gathotkaca cepat bagaikan kilat dan gesit bagaikan thathit (petir)”.
3) Watake Wrekudara iku, yen kaku kaya alu, yen lemes kena digawe tali; artinya bahwa watak Wrekudara itu jika kaku seperti antan, bila lemah seperti dapat dipakai untuk tali-menali”.
4) Kresna lan Janaka iku pepindhane kaya „suruh lumah lan kurebe, dinulu seje rupane, ginigit padha rasane‟; artinya bahwa Kresna dan Janaka itu seperti daun sirih balik atas dan balik bawah, jika dilihat memang nampak berbeda, tetapi jika digigit sama rasanya”. Jadi, Kresna dan Janaka itu lahirnya berbeda, pendiriannya sama.
5) Pasuguhane mbanyu mili; artinya bahwa hidangan yang disampaikan kepada para tamu terus saja tak ada habis-habisnya, bagai air mengalir”. Untuk me-nyandra (mencandra) seorang putri yang cantik manis lebih tepat dengan syair atau tembang (Asmaradana) berikut.
a) Dhasare putri linuwih susila tyase ngumala yen cinandra suwarnane
slira srentege pangawak dara pamulu lir sasongko rema memak ngembang bakung sesinome micis wutah.
b) Larapan nyela cendhani imba ananggal sapisan kekincange nggiwangake ibing tumenga ing tawang netra ndamar kanginan liringe weh wayang-wuyung mblalak kocak lir mutyara

c) Grana ngrungih ngudhup mlathi pindha kencana pinatar ngudhup turi kekeninge
nyangkal putung uwangnya lathi manggis karengat eseme apait madu waja sinisig nglar kombang.
(Padmosoekotjo, 1953: 114)
3. Pertanyaan Tradisional
Pertanyaan Tradisional di Indonesia terkenal dengan nama teka- teki. Dalam masyarakat Jawa "pertanyaan tradisional" berupa cangkriman, yaitu pertanyaan yang harus dijawab, di samping itu ada juga "wangsalan”. Ada tiga macam cangkriman yaitu: (l) Awujud tembung wancahan (tugelan), (2) Awujud pepindhan (irib-iriban), (3) Ngemu surasa blenderan.

Penjelasannya sebagai berikut. (1) Kang awujud tembung wancahan (berbentuk singkatan kata-kata), yaitu: a) Pak bo letus = tepak kebo lelene satus. b) Wiwawite, lesbadonge, karwapete = Uwi dawa wite, tales amba
godhonge, cikar dawa tipete. c) Pakbomba, paklawa, pakpiyut = Tepak kebo amba, tepak ula dawa,
tepak sapi ciyut. d) Pipiru ndhangdhangmoh, thong-thongjur = Sapi-sapine turu,
kandhange wis amoh, tlethonge padha ajur. e) mBok Siyah matine ketiban uleg-uleg = Lombok, trasi, uyah ..... f) Burnas kopen = Bubur panas kokopen. g) Singa lunga ngaji = 19 39 91 h) Dicekel kotos-kotos, dibungkus kotos-kotos, dibuang kotos-kotos =
kotos-kotos iku tegese wingka-wingka (iku) atos.

i) Nganggo tembang Pangkur Batangen cangkrman ingwang Tulung-tulung ana gedhang woh gori Ana pitik ndhase telu tebu tuwa thukul mripat kyai dhalang yen mati sapa kang mikul ana belo melu suran salawe sungute gangsir.
j) Saiki dheweke wis haji Kosgoro, parabe Abidin (diongkosi negara saka anggaran biaya dinas).
(2) Kang awujud pepindhan Di sini kalimatnya merupakan persamaan dengan benda lain, maka siapa pun yang diajak cangkriman perumpamaan apa itu. Contohnya: a) Sega sakepel dirubung tinggi b) Pitik walik saba kebon
c) Emboke wuda, anake tapihan d) Gajah nguntal sangkrah e) Maling papat oyak-oyakan f) Emboke dielus-elus, anake diidak-idak g) Sing endhek didhudhuki, sing dhuwur diurugi h) Tembang Pucung:
Bapak Pucung, bleger sirah lawan gembung padha dikunjara mati sajroning ngaurip mbijig bata nuli urip sagebyaran
i) Tembang Pucung:
Bapak Pucung, rupane saenggo gunung tan ana kang tresna saben uwong mesthi sengit yen kanggonan den lus-elus tinangisan harus tahu kiranya = salak = nanas = pring = luweng = undar = andha = timbangan
(korek) (wudun)

j) Tembang Asmaradana:
Sesrebanan dudu kaji nganggo kucir dudu Cina sarwi bolong mbun-mbunane gawene atetangisan weteng bolong tinutupan lamun mbun-mbune sinebul tangise dadi tontonon
(3) Kang ngemu surasa blenderan

(suling)

 Teka-teki ini untuk permainan belaka, untuk berseloroh, atau bergurau, jadi menebaknya harus berhati-hati, sebab bisa ditertawain orang.
Contoh:

a) Wudunen iku marakake sugih pari -- paringisan (kesakitan). b) Olehe ngitung usuk ora rampung-rampung -- tiduran melihat ke atap. c) Wis gedhe kok ngguyu tuwa -- maksude nangis. d) Bocah iku wis wiwit kluruk -- mulai dewasa (tahu cinta). e) Bakale Cina padha digantungi – yang digantung bahan bukan orangnya. f) Neng pasar rame banget, wong adol pitik disrimpungi, wong adol klapa
dikepruki, wong adol tembako diambungi, wong adol tempe diwudani.
(bukan orangnya tetapi barang jualannya). g) Si Kasijo iku kok pinter temen nganti para juru bayar padha meguru marang dheweke (Kasijo -- Casio, merek kalkulator). h) Wong wis anguk-anguk kubur kok isih ngapusi (wis meh mati). i) Ana manuk, dibuwang sikile manak, ditambahi wulu malah dadi merjan,
nanging yen dipepet njur dibuwang sing marahi mati, malah banjur bisa
matur "iki, apa iku”. (manuk tulisan Jawa). j) Punapa bedanipun “Tiyang listrik lan tiyang jaler?” Jawabipun: tiyang listrik punika saged madhangi, tiyang jaler saged metengi.

-- Wangsalan
Wangsalan adalah ungkapan semacam teka-teki (cangkriman), tetapi biasanya tebakannya telah disebutkan sekali, walaupun tidak jelas, tersamar. Ada dua macam wangsalan, ialah yang biasa dan yang indah.
a) Wangsalan biasa Dalam membuat wangsalan ini jawabnya sudah dinyatakan, tetapi
hanyalah sepatah kata saja, sehingga orang harus tahu sendiri maksudnya. Contoh: (1) Jenang sela, wader kalen sesondheran (apu, sepat). Apuranta, yen wonten lepat kawula. (2) Gelang asta, kancing gelung munggwing dhadha (ali-ali, peniti). Aywa lali, den nastiti barang karya. (3) Tan kagawa, raditya, jarwaning rekta (kantun, minggu, abang). Lestantuna, migunani nusa bangsa. Ada kalanya wangsalan itu hanya sebuah kalimat saja, misalnya: (4) Nyaron bumbung (angklung) ngantos cengklungen anggen kula ngentosi. (5) Mrica kecut (wuni), muni kok bab sing ora nyata. b) Wangsalan edi-peni (indah) Hanya sebuah kalimat: Kalimat pertama 2 kata, kalimat kedua 4. (1) Carang wreksa (pang), nora gampang ngarang Jawa. (2) Kukus gantung (sawang), daksawang sajake bingung. (3) Reca kayu (golek), goleka kawruh rahayu.
(4) Wohing tanjung (kecik), becik njunjung bapa biyung. (5) Roning mlinjo (eso), sampun sayah nyuwun ngaso. Terdiri dari dua kalimat: Kalimat pertama 4 suku kata (2 kata), kalimat kedua 8 suku kata (4 kata).

Contoh: (1) Kulik priya, priyagung Anjani putra (manuk tuhu, Anoman). Tuhu
eman, wong anom wedi kangelan. (2) Tepi wastra, wastra kang tumrap mastaka (kemadha, iket). Para
mudha, ngudia angiket basa. (3) Jaksa Dewa, Dewa Dewi lir danawa (Bathara Kala, Bathari Durga).
Kala mudha, bangkita mbengkas durgama. (4) Ngreka puspa, puspa nedheng mbabar ganda (nggubah, mekar). Nggugah basa, mrih mekar landheping rasa. (5) Ancur kaca, kaca kocak munggwing netra (banyu rasa, tesmak). Wong wruh basa, tan mamak ing tata krama.

Wangsalan dalam bentuk tembang

(1) Sinom Wewangsalan roning kamal (sinom) pra anom den ngati-ati wreksa kang pinetha janma (golek) golek kawruh kang sejati kulik priya upami (tuhu) anganggoa reh kang tuhu kalpika pasren karna (anting-anting) gegelang munggwing dariji (ali-ali) aywa tinggal miwah lali pariwara.

(2) Dhandhanggula Carang wreksa ingkang jamang tambir (epang, wengku) nora gampang wong mengku negara baligo amba godhonge (labu) kudu santoseng kalbu tengareng prang andheging riris (tetag, terang) den tatag tranging cipta sendhang niring ranu (asat) sasat ana ing palagan kasang toya menyan seta munggwing ardi (impes, wlirang) yen apes kuwirangan.

(3) Pangkur

Jirak pindha munggwing wana (kesambi) sayeng kaga, we rekta kang muroni (kala, anggur) wastra tumrap mastaka (iket) pangikete wangsalan kang sekar pangkur baon sabin ing nawala (karya) kinarya langen pribadi.

(4) Asmaradana
Sun lali-lali tan lali sun lelipur saya brangta sasolahe katon bae gembili gung wohing tawang (jebubug) gedebugan wakingwang jenang gamping reca kayu (enjet, golek) dalenjet goleki dika

(5) Kinanthi
Kinanthi liring pitutur kenthang rambat menyan putih (tela, wlirang) awasna dipun pratelo noleha wiranging wuri cecangkok wohing kalapa. (bathok) kang dadi pathoking urip.

4. Puisi Rakyat Puisi tradisional biasanya memakai kalimat tetap, artinya kata-kata
atau kalimat yang dipergunakan, terlkat oleh kaidah yang berlaku. Dalam bahasa Jawa, yang disebut tembang adalah puisi rakyat yang telah tetap aturan yang dipakai, baik jumlah kata-katanya maupun akhir suara tiap larik atau gatra. Oleh karena itu, dalam sastra Jawas tembang itu sudah mempunyai nama sendiri, seperti: Dhandhanggula, Sinom, Pangkur, Durma, Mijil, Asmaradana, Kinanthi, Maskumambang, Megatruh,

Gambuh, Pucung, dan sebagainya. Orang yang telah tahu akan aturan yang ada dalam tembang itu akan merasa aneh bila mendengar suatu tembang yang tidak sesuai kaidahnya.
Puisi rakyat Jawa Tengah dapat berujud: Dolanan anak, Parikan, Mantra, dan sebagainya.
(1) Dolanan anak : a) Kupu kuwe Kupu kuwe takencupe mung abure ngewuhake ngalor ngidul ngetan bali ngulon mrana-mrene ing saparan-paran sapa bisa ngencupake mentas mencok cegrok banjur mabur bleber.
b) Menthog-menthog
Menthog-menthog tak kandhani mung rupamu angisin-isini mbok ya aja ngetok ana kandhang bae
enak-enak ngorok ora nyambut gawe menthog-menthog, mung lakumu megal-megol gawe guyu.
c) Gundhul pacul
Gundhul-gundhul pacul, gembelengan manggul-manggul wakul, gentayangan wakul ngglempang isine dadi salatar wakul ngglempang isine dadi salatar.
(2) Parikan Parikan itu serupa pantun, jadi aturan yang ada hampir sama jua.
Parikan itu terdiri atas dua kalimat, kalimat pertama dua kata atau empat suku kata, sedang kalimat kedua empat atau delapan suku kata. Akhir kalimat pertama bersajak dengan kalimat ketiga; sedang akhir kalimat kedua bersajak dengan kalimat keempat. Contoh:

a) Wajik klethik gula klapa (masing-masing empat suku kata) luwih becik wong prasaja.
b) Pitik walik tanpa lancur pangkat cilik arang nganggur.
c) Arum manis gula pasir aja nangis ayo mampir.
d) Nangka jeruk duku nanas rada watuk ngelu panas.
e) Tawon madu ngisep sekar calon guru kudu sabar.
f) Kembang mawar, ganda arum ngambar-ambar (4 suku kata, dua kali). ati bingar, mung yen mentas nampa bayar.
g) Kembang kencur, ganda sedhep sandhing sumur kudu jujur, yen kowe kepengin luhur.
h) Kembang mlathi, ganda wangi warna peni watak putri, kudu gemi lan nastiti.
i) Cengkir wungu, wungune ketiban daru dadi guru, kudu sabar momot mengku.
j) Wedang bubuk, kemruyuk gulane remuk wulang muruk, poma aja karo ngantuk.

(3) Japamantra lan Donga Dalam masyarakat Jawa masih berlaku mantra (japamantra yang
ditujukan kepada roh halus, sedang donga (doa) suatu permohonan ditulukan kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Contoh:

a) Mantra atau Aji Balasakethi
Hong! Niyatingsun matak ajiku aji Balasakethi aji jagad Gedhe saka dayane Sang Hyang Logos kang luhur sakehing para wali manjing ana ing saliraku tunggal aja maneh wadya bala janma manungsa para jin setan peri prayangan padha tatas kocar-kacir kasabet dening aku ......................................................................
b) Donga atau Kidungan: Dhandhanggula
Ana kidung rumeksa ing wengi teguh ayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh jim setan datan purun paneluhan tan ana wani miwah panggawe ala
gunane wong luput geni atemahan tirta maling adoh tan wani perak ing kami kemat duduk pan sirna.
c) Kinanthi
Pitik tulak pitik tukung tetulake jabang bayi ngedohaken cacing racak sarap-sawane sumingkir si tukung mangungkung ngarsa si tulak bali ing margi.
 d) Pangkur
Samya geger setan wetan anrus jagad kulon playuning dhemit kang tengah Bathara Guru tinutup Nabi Soleman iblis setan brekasakan ajur luluh ki jabang bayi wus mulya, liwat sirotol mustakim.
e) Aji-aji Wringinsungsang (Durma)
Wringin sungsang wayahira tumaruna ngaubi awak mami tur tinut ing bala pinacak suji kembar
pepitu jajar maripit asri yen siyang angker kalane wengi.
5. Cerita Prosa Rakyat
Cerita prosa rakyat ini menurut James (hal. 50) dapat dibagi dalam tiga golongan, ialah: Mite, Legende, dan Dongeng. Pembagian lain menurut Ny. Yoharni ada empat atau lebih, yang penting ialah: mite, legende, sage, cerita lucu, cerita keagamaan, dair sebagainya. Penulis akan menyesuaikan dalam pembicaraan nanti.
Menurut pengamatan penulis di Jawa Tengah terdapat tiga macam cerita prosa rakyat, yaitu: mite, sage, dan legenda. Penjelasannya sebagai berikut.
(1) Mite: adalah cerita tentang kehidupan dewa-dewi di kahyangan atau makhluk halus lainnya. Dalam cerita itu dikisahkan para dewa-dewi atau makhluk halus lainnya itu dipersamakan dengan manusia yang mengalami suka-duka, benci-cinta, rindu-dendam, dan sebagainya (S. Cokrowinoto, 1981: 17). Kenyataannya bahwa cerita atau dongeng yang berbentuk mite ini acapkali bercampur dengan bentuk lainnya baik legende maupun sage.
Contoh:
a) Cerita Nyai Rara Kidul
b) Cerita terjadinya Padi
c) Ki Jenggot Raja Jin
d) Jaka Tarub
e) Jaka Linglung
(2) Sage: ialah cerita tentang kegagahberanian seseorang. Seseorang yang berjasa terhadap masyarakat dan "sakti" biasanya selalu dihormati dan dikenang sepanjang masa walau sudah meninggal. Bahkan terhadap mereka itu dibuatkan cerita atau dongeng yang aneh-aneh yang sering tidak masuk akal karena hormat mereka kepadanya (S. Cokrowinoto, hal. 19).
Contoh:
a) Aji Saka
b) Ki Ageng Gribig
c) Kanjeng Pemalang
d) Jaka Bandung
e) Lara Jonggrang
(3) Legende: yaitu cerita yang ada hubungannya dengan sejarah kejadian atau keanehan alam, seperti suatu negeri, munculnya suatu pulau, lenyapnya suatu kota, dan sebagainya. Barangkali kejadian yang sebenarnya tidak demikian, tetapi oleh sang pembuat cerita dikaranglah sebaik-baiknya, lebih-lebih kalau kita diperlihatkan kepada sesuatu peninggalan masa lalu, seolah-olah itu benar-benar seperti kejadian sesungguhnya (S. Cokrowinoto, hal. 19).

Dari enam karesidenan di Jawa Tengah, masing-masing disampaikan dua buah legenda, walaupun tentu masih banyak legenda yang belum tertulis, jadi masih ada di kalangan masyarakat. Dan memang dibanding dengan bentuk mite dan sage, maka cerita prosa rakyat ini, yaitu legenda rupanya paling banyak lahir dan digemari oleh masyarakat. Contoh:
a) Karesidenan Semarang: Terjadinya Semarang, dan Rawapening.
b) Karesidenan Pati: Wukir Rahtawu, Kudus, Pulau Seprapat, di Pati.
c) Karesidenan Surakarta: Kali Pasir di Klaten, dan terjadinya Karanganyar.
d) Karesidenan Kedu: Madi Surodilogo di Wonosobo, dan Banyuurip di Purworejo.
e) Karesidenan Pekalongan : Terjadinya kota Pekalongan, dan kota Pemalang.
f) Karesidenan Banyumas: Terjadinya Baturaden di Banyumas, dan Kembang Wijayakusuma di Cilacap.

IV. Manfaat Folklor bagi Pembangunan Masyarakat

Telah banyak diuraikan berbagai bentuk folklor, terutama yang terdapat di Jawa Tengah. Adakah itu manfaatnya bagi pembangunan masyarakat, baik masyarakat Jawa Tengah atau bangsa Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat bagaimana perumusan GBHN 1983 tentang kebudayaan. Pada Bab lV Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, Sosial Budaya nomor 3 tentang kebudayaan, huruf c disetutkan bahwa "Dengan tumbuhnya kebudayaan bangsa yang berkepribadian dan berkesadaran nasional, maka sekaligus dapat dicegah nilai-nilai sosial budaya yang bersifat feodal dan kedaerahan yang sempit serta ditanggulangi pengaruh kebudayaan asing yang negatif".
Pada huruf j tentang tradisi disebutkan bahwa ”Tradisi dan peninggalan sejarah yang mempunyai nilai perjuangan bangsa, kebangsaan, serta kemanfaatan nasional tetap dipelihara dan dibina untuk memupuk, memperkaya, dan memberi corak khas kepada kebudayaan nasional".

Dengan demikian, tugas kita memilih dan melestarikan berbagai macam bentuk folklor yang baik untuk mencapai tujuan sesuai dengan yang disebut dalam GBHN 1983 itu.

Di samping itu, kita telah menentukan bahwa folklor yang baik yang bermanfaat bagi pembangunan masyarakat itu haruslah yang mempunyai tujuh sifat seperti telah disebutkan di muka ialah folklor itu bersifat: (1) didaktis, (2) kepahlawanan, (3) keagamaan, (4) pemujaan, (5) adat, (6) sejarah, dan (7) humanistis.

EVALUASI

Untuk kegiatan evaluasi secara menyeluruh, digunakan butir-butir pertanyaan atau tugas yang harus dikerjakan oleh peserta sebagai berikut.
  1. 1)  Jelaskan secukupnya tentang: a) konsep folklor, b) objek studi folklor Indonesia, c) kebudayaan (konsep, sejarah, fungsi, sifat, dan wujudnya), d) hubungan folklor dengan kebudayaan, e) ciri-ciri pengenal utama folklor, f) sejarah folklor, dan g) kemanfaatan folklor.
  2. 2)  Lakukan studi lapangan ke tengah masyarakat secara langsung dan nyata untuk menggali berbagai folklor yang ada, tumbuh, dan berkembang di sana.
  3. 3)  Tindaklanjuti folklor hasil galian tersebut dengan membuat perencanaan sebuah proses kreatif sehingga menghasilkan konsep garapan karya koreografi tari.
IV. PENUTUP
Memahami dan mengerti secara baik tentang folklor yang didukung dengan kemampuan melakukan pengkajian dan penggalian langsung di masyarakat akan memperkaya pengalaman jiwa peserta untuk berproses kreatif dalam rangka menyusun karya koreografi tari, baik sebagai tarian lepas maupun bagian dari sebuah prosesi upacara (adat) yang juga harus dikemasnya.

DAFTAR PUSTAKA
Cokrowinoto, Sardanto. 1986. „Manfaat Folklor bagi Pembangunan Masyarakat‟ dalam Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa. (Ed. Soedarsono). Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Danandjaja, James. 2007 (Cet. VII). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Kartodirdjo, A. Sartono. 1986. „Suatu Tinjauan Fenomenologis tentang Folklore Jawa‟ dalam Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa. (Ed. Soedarsono). Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soepanto. 1986. „Folklor sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah‟ dalam Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa. (Ed. Soedarsono). Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sujarwa. 1999 (Cet. I). Manusia dan Fenomena Budaya Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.

Suprayitno, Sumarti. 1986. „Ungkapan Tradisional Jawa Sebuah Tinjauan Awal‟ dalam Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa. (Ed. Soedarsono). Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Untuk Lebih lengkapnya silahkan ke Sumber : di LINK ini ; http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/modul%20pembljrn%20folklor.pdf

 Drs. Sumaryadi, M.Pd. bersama Dra. Rumi Wiharsih, M.Pd. 
A T L  (Asosiasi Tradiisi Lisan)

1 komentar:

  1. pitek walek puteh mulus - digunakan sebagai tolak balak dan penetral jika penah belajar ilmu hitam yaitu agar tidak kena / terhindar dari akibat bahaya yang ditimbulkan. juga sebagai pendatang keberuntungan kunjungi pitik walek putih mulus

    BalasHapus