Senin, 23 April 2012

RAHAYU SUPANGGAH (Komposer Kaliber Dunia)

Rahayu Supanggah foto Yul Adriansyah

Nama :
Rahayu Supanggah

Lahir :
Boyolali, Jawa Tengah,
28 April 1949

Pendidikan : 
 1.Akademi Seni KarawitanIndonesia (STSI Surakarta),
2.Doktor etnomusikologi dari University of Paris VII (1985)

Karir :
1.Direktur Eksekutif Yayasan Seni Budaya Indonesia 1968-1972),
2.Vice President Masyarakat Seni Pertunjukan IndonesiaHead of Editors Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia (1990-1996),
3.Kepala Departemen Karawitan ISI  Surakarta, (1975-1981, 1987-1992),
4.Ketua Jurusan Musik di ASKI  (1976-1986),
5.Direktur Musik Pusat Kesenian Jawa Tengah Tengah (1976)
6.Direktur ISI Surakarta (hingga Mei 2002),
7.Direktur Pascasarjana ISI (sejak 2002),
8.Guru Besar Etnomusikologi dan Komposisi ISI Surakarta ,
9.Rektor ISI Surakarta

Karya Tulis :
 1.Ethnomusicology (editor/1996),
2.Bothekan I (2002),
3.Oblok-Oblok, (2004),
4.Mutar Muter (2004),
5.Gong (co-writer),
6.Pendidikan Seni Nusantara, Jakarta (2003)

Karya Komposisi :
1.Wayang Buddha,
2.Gambuh,
3.Joged,
4.Bedaya Kartini,
5.Pajang,
6.Ronggolawe,
7.Dialogue,
8.Gilgamesh,
9.Sesaji Raja Suya,
10.Keli,
 11.Paragraph,
12.Jayaningsih,
13. Karawitan New Waves, Passage through the Gongs, Main Kayu,
14.Kidung Mardiko,
15.Rukunan Plus,
16.Lear,
17.Unraveling the Maya,
18."SRI",
19.Realizing Rama,
20.IKAI (Another World),
21.The Death of Menakjingga,
22.Drum Extravaganza,
23.Sacred Rhythm,
24.Bagus Burhan,
25.La Galigo,
26.Song of Beginning, Megalithikum Kwantum, Opera Jawa, 
27.Borobudhur,
28.Trans Form

Penghargaan :
1.Mendapat beasiswa untuk program doktorat (1981-1985)
2.Penata Musik terbaik FFI untuk film Opera Jawa (2006),
3.The Best Composer Hong Kong International Film Festival 2007
4.(Asian Film Awards) ,
5.World Master in Music and Culture di Seoul  (Korea Selatan),
6.Bintang Budaya Parama Dharma (2010) ,
7.Anugerah Akademi Jakarta (2011)  


Rahayu Supanggah foto: Yul Adriansyah

Lahir di Boyolali, Jawa Tengah, 28 April 1949, dari keluarga dalang desa yang miskin. Statusnya mendorongnya bercita-cita untuk mengangkat derajt kemiskinan (gamelan) ke forum dunia. Tekadnya mantap ketika ia diikutkan dalam misi kesenian kepresidenan ke China, Korea dan Jepang (1965). Sejak itu ia mulai melakukan pembaharuan pemanggungan gamelan dan menciptakan music (kontemporer) baru berakar dari seni tradisional.   

 Tahun 1972 ia mulai mengajarkan music gamelan ke Australia dan Eropa. Di tahun 1976, ketika ia masih berstatus mahasiswa, ia ditunjuk sebagai Ketua Jurusan Musik ASKI selama 10 tahun, sekaligus Direktur Musik Pusat Kesenian Jawa di institusinya. Ia berbicara di beberapa universitas penting seperti UC Berkeley, UC Riverside, Yale, SOAS, TNUA Taipei, Chulalongkorn, Utrecht, ASWARA, dsb, menelurkan konsep-konsep pendidikan, pelestarian, pengembangan dan kekaryaan seni, mempelopori penciptaan music Indonesia baru, yang kemudian tersebar di berbagai tempat di Indonesia maupun di luar Indonesia       

“Setiap kali berkarya membuat musik, sebenarnya saya sekaligus belajar. Saya sangat menikmatinya,” kata Rahayu Supanggah, seorang komposer dan pemain musik andal di dalam tradisi musik Jawa yang sangat ketat, namun juga seorang kreator yang tak segan menabrak batasan apa pun untuk mencapai tujuan seninya.

Tutur kata lelaki separuh baya yang bertubuh gempal dan berkulit gelap ini mengundang tawa mengiyakan dari 50-an orang yang hadir di sebuah forum perbincangan di Esplanade, Singapura, 13 Maret 2007 silam. Mereka adalah para akademisi, seniman budayawan, dan pers dari berbagai penjuru dunia yang menaruh perhatian pada karya sastra terpendam I La Galigo dari Bugis. Mereka mengagumi musik gubahan Supanggah di dalam pertunjukan perdana I La Galigo semalam sebelumnya. Keterlibatan Rahayu Supanggah di dalam proyek seni menteaterkan I La Galigo, dan membawanya ke pentas dunia, sudah terjadi sejak tim awal membuat presentasi di Watermill, New York, Agustus 2001.


Rahayu Supanggah foto: yul Adriansyah

Sebelum menggarap musik I La Galigo, ia sendiri maupun sejumlah pemusiknya membuat penelitian ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan, mengingat karya sastra yang akan dipanggungkan ini berasal dari sana. Mereka menyusuri kawasan Makassar, Bone, Bulukumba, Kajang, dan sejumlah wilayah lain. Masuk- keluar kampung, bertemu dengan para pemusik setempat, melakukan wawancara, mempelajari musiknya, dan kemudian membuat workshop musik bersama.

“Kami berusaha mendapatkan musik yang sudah jarang terdengar maupun yang masih terpakai,” katanya. Salah satu jenis langgam musik temuan itu mereka tampilkan di dalam pementasan tersebut, yang berasal dari musik masa panen. Supanggah menambahkan instrumen bambu yang diketukkan ke bahan kayu. Ada pula musik yang biasa dipakai untuk upacara pernikahan, untuk mengiringi upacara adu jago, yang semua terpakai di dalam pertunjukan tersebut. “Itu yang saya maksud dengan belajar setiap membuat karya. Orang Makassar belajar musik Bone, orang Bone belajar musik Selayar, orang Jawa belajar musik Bong, saya jadi ikut menguasai persoalan musik di Sulawesi Selatan,” katanya. Supanggah menandaskan, untuk kebutuhan artistik, ia tidak membatasi diri pada musik asal Sulawesi Selatan, demikian juga dengan para pemusik maupun instrumennya.

Mendapat beasiswa doktorat di Paris (1981-1985), dunianya semakin terbuka. Ia bertemu Peter Brook, berkolaborasi dengan Warner Kaegi, Sergio Leone dsb. Ia membuat musik untuk Robert Wilson, Ong Keng Sen, Plaid, Sardono W. Kusumo, Garin Nugroho, Andrea Gingras, CHRONOS String Quartet. Menjadi artist in residence di Cite de la Musique Paris, Southbank Center London. Sebagai komponis tamu di Yale University, Cornish College Seattle dsb. Memberi ceramah di UC Riverside, University of Michigan, Oberlin College, Victoria University Wellington, Institute Sonologie Utrecht, TNUA Taipei, Chulanongkorn University, ASWARA, Muzium Negeri Terengganu dsb.

                                                              Rahayu Supanggah foto: Yul Adriansyah

Komposer yang sudah menciptakan lebih dari 100 komposisi ini mengaku ada tarikan dari masa lalu yang sangat kuat, namun juga semangat masa depan dari sosok seni kontemporer Robert Wilson. “Saya harus memadukan konro (masakan khas setempat) dengan teh jawa, atau konro dengan Coca-cola,” katanya. Bekerja dengan Robert Wilson hanyalah satu tahapan di dalam perjalanan kesenian Rahayu Supanggah, yang tumbuh di dalam keluarga dalang wayang kulit Jawa, dengan tradisi berkesenian yang ketat. Ia sudah berkolaborasi dengan sejumlah seniman ternama lain, dengan berbagai pengalaman yang khas. Bersama tokoh teater dunia seperti Peter Brook, ia mesti menjalani proses bersama yang cukup panjang dengan berbagai workshop.

Bersama komposer asal Jepang, Toshi Tsuchitori menggarap musik untuk lakon Mahabharata tahun 1985 di Paris. Bekerja dengan Sardono W Kusumo untuk karya koreografinya Passage Through the Gong yang dipanggungkan keliling Amerika Serikat tahun 1993. Bersama Ong Keng Sen, sutradara asal Singapura, ia dan komposer setempat menggarapKing Lear. Supanggah mengajukan gamelan, yang ia perbarui. Ia membuat instrumen gender dengan 21 bilah-normal hanya 16-yang bisa menampung berbagai pathet dari bahan besi untuk mengejar warna suara yang ia kehendaki. “Kami membuatnya ’baru’, dengan idiom baru, dengan konteks baru, cara penyajian baru,” tuturnya.

Semangat memperbarui itu bukan hal baru baginya. Sejak muda ia sudah menumbuhkan semangat melawan kemapanan. Lulusan Konservatori Karawitan Surakarta ini sudah kreatif’ sewaktu belajar di Akademi Seni KarawitanIndonesia, sekarang STSI Surakarta. Ia sempat dikecam merusak tradisi. Kini doktor etnomusikologi dari University ofParis tahun 1985 itu masih mengajar di STSI Surakarta.

Setelah menuai sukses dalam Festival Film Antarbenua di Prancis dan Festival Film Indonesia (FFI), Prof Dr Rahayu Supanggah sebagai penata musik Opera Jawa meraih penghargaan lagi. Dalam Hong Kong International Film Festival 2007 (Asian Film Awards) belum lama ini, dia kembali menyabet The Best Composer. Penghargaan tersebut menjadi sedemikian prestisius bukan karena raihan kali ketiga bagi seniman musik dari kota Solo itu. Selain menjadi satu-satunya kategori yang diraih oleh film Opera Jawa, penghargaan itu juga merupakan kali pertama untuk filmIndonesia dalam ajang festival tersebut.

Karya-karyanya digelar di BAM, Royal Albert Hall, Opera Paris, Opera Ravenna, Het Muziektheater Amsterdam, Lincoln Centre, Esplanade dan tempat lain di lebih dari 40 negara. Ia terlibat sebagai anggota/direktur board artistic di beberapa festival, supervisor workshops dan kolaboeasi seni di beberapa tempat di dunia. Ia juga banyak menulis Artikel dan buku tentang kesenian dan kebudayaan.

Di luar penghargaan Best Composer, sebelumnya film Opera Jawa masuk nominasi terbaik bersama dengan lima film lain. Kelima film tersebut adalah Curse of the Golden Flower (Hong Kong), Exiled (Hong Kong), The Host (Korea Selatan), Love and Honor (Jepang), dan Still Life (China daratan). Sementara Rahayu Supanggah masuk nominasi sebagai penata musik terbaik juga bersama dengan lima pemusik. Mereka adalah Jeong Yong-jin dalam Women on the Beach (Korea Selatan), Peter Kam (Isabella/Hong Kong), Lim Giong (Still Life/China daratan), dan Terashima (Tamiya Tales from Earthsea/Jepang).

 (Dari Berbagai Sumber)

ATL (Asosiasi Tradisi Lisan)

Ilustrasi Musik I LA GALIGO oleh Rahayu Supanggah

April 2011 di Venue, Benteng Fort Rotterdam

Tentang Rahayu Supanggah silahkan ke LINK ini http://www.facebook.com/note.php?saved&&note_id=2110149409327 sepanjang pertunjukan I LA GALIGO meliputi:

1. Dunia Mula-Mula – Beginning of the World (10.30)
2. Mawar Mekar – Flowering Rose (06.54)
3. Kuncup Bunga Karang – Flower Buds (03.18)
4. Perayaan Pada Ada – Celebration of Life (05.20)
5. Pertemuan Pertama – First Meeting (04.11)
6. Turbulence (04.11)
7. Menggantung Asa – Hanging Hope (12.17)
8. Si Burung Pembawa Pesan – The Messenger Bird (06.57)
9. Pra Bumi – Before Earth (14.58)
10. Mimpi oh Tenri – Dream oh Tenri (11.33)
11. Menimba Alam – Discovering Nature (07.11)
12. Cinta Dalam Karung – Love in Disguise (11.02)
13. Menimbang Harga – Weighing The Dignity (03.22)
14. Welenrennge (08.00)
15. Grand Voyage (04.07)
16. Menjelang Fajar – Before Sunrise (05.08)
17. Bertepuk Dalam Kasih – Applaud in Love (08.06)


Video Pertunjukan I La Galigo : http://www.facebook.com/photo.php?v=2105607015770&set=vb.1713388337&type=2&permPage=1

Setelah pentas di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat sejak tahun 2004, tahun 2011 lalu, I LA GALIGO "Berlabuh di Makassar"

Sutradara, Desain Panggung, dan Konsep Tata Cahaya ROBERT WILSON
Musik RAHAYU SUPANGGAH,
Teks Dramaturgi RHODA GRAUER
Pengarah Artistik RESTU I. KUSUMANINGRUM
Desainer Kostum Joachim Herzog
Desain Pencahayaan A.J Weissbard
Master Tari Andi Ummu Tunru
Manajer Panggung Sue Jane Stoker
Asisten Manajer Panggung Tinton Prianggoro
Asisten Desain Properti Djanti Soekirno
Pelatih Gerak B. Kristiono Soewardjo, Gentille Andi Lolo
Penanggung Jawab kostum Julie Putri
Tata Rias dan Rambut Martha Tilaar
Kain dan Kostum Bin House Indonesia
Penanggung Jawab Teknis Juli Valda

Produksi Change Performing Arts - ITALIA,
bekerjasama dengan Yayasan Bali Purnati - INDONESIA
Didukung oleh Pemerintah Kota Makassar

ko-produksi oleh
Esplanade - Theatres on the Bay Singapura,
Lincoln Center Festival New York
Het Muziektheater Amsterdam, Forum Universal De Les Cultures Barcelona 2004, Les Nuits De Fourviere Rhône-France, Festival Ravenna Italy

La Galigo battu ri balla'na

Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.

Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.

Ada dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik Mahabharata dari India. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.

La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.

Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.

Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004.

Atl Lisan (Asosiasi Tradisi Lisan)