Minggu, 13 Mei 2012

TARI SANGHYANG


Adalah tari sakral, merupakan tari kerauhan karena kemasukan roh, baik roh dedari maupun roh binatang yang memiliki kekuatan gaib. 

Tari ini merupakan warisan budaya pra-Hindu yang bertujuan menolak bala. 

Tari sanghyang ini merupakan tarian komunikasi spritual dari warga masyarakat dengan alam gaib dengan menyanyikan tembang-temban pemujaan dengan iringan tetabuhan. 

Didalam tarian ini selalu ada tiga unsur penting yaitu; api, gending sanghyang dan penari. Dan tari sanghyang yang umum dipentaskan di Bali terdiri dari; 

Sanghyang Dedari, 
Sanghyang Deling, 
Sanghyang Bojog, 
Sanghyang Jaran, 
Sanghyang Sampat dan 
Sanghyang Celeng.

Sanghyang Dedari
Tarian Sanghyang Dedari, dilakukan sepasang penari cilik yang sebelumnya diupacarai dan dinyanyikan gending sanghyang dedari sampai pingsan suatu pertanda masukya roh dedari, di tempat menari kedua penari tersebut dalam keadaan tidak sadar menari-nari di atas pundak pria mengelilingi tempat pentas. Tujuan dari pementasan tari sanghyang dedari ini adalah memohon keselamatan dari bencana alam atau wabah penyakit. Tarian ini terdapat di daerah Kabupaten Badung, Gianyar dan Bangli.

Sanghyangh Deling
Tari Sanghyang Deling ditarikan sepasang gadis yang belum akir balik, tarian ini dimasuki roh Dewa Wisnu atau Dew Sri yang melambangkan kesuburan. Dengan sarana sebatang pepohonan yang digantungi dua boneka yang disebut Deling terbat dari daun lontar. Semakin kencangnya gerak dari pada deling menandakan kedua penari tesebut telah kemasukan roh, tujuan tari ini untuk memohon keselamatan. Tarian ini hanya terdapat di desa Kintamani Kabupaten Bangli.

Sanghyang Bojog
Tari Sanghyang Bojog ditarikan oleh seorang pria dengan busana seperti seekor kera. Sebelumnya dilakukan upacara pemanggilan roh kera, setelah penari kemasukan roh maka penari tesebut akan melompat-lompat di atas pohon menirukan gerak gerik kera, kadang-kadang gerakanya sulit untuk ditirukan oleh manusia. Tarian Sanghyang Bojog ini ada di Kabupaten Karangasem.

Sanghyang Jaran
Tari Sanghyang Jaran ditarikan seorang pria yang mengendarai sebuah kuda-kudaan yang terbuat dari pelapah daun kelapa. Setelah dilakukan upacara dan penarinya sudah kemasukan roh kuda tunggangan dewata dari kayanan, penari akan berjalan dan berlari-lari kecil dengan kaki telanjang menginjak-nginjak bara api batok kelapa yang disiapkan di arena tari sanghyang jaran, tarian ini dlaksanakan bilamana masyarakat prihatin akan keadaan aalam ini. Tari Sanghyang Jaran ini terdapat di daerah Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Bangli.

Sanghyang Sampat
Tari sanghyang Sampat ditarikan oleh seorang gadis yang telah dimasuki roh engan sebuah perantara sapu atau lidi yang digerak-gerakan dari kiri kekanan atau sebaliknya atau bisan dengan perantara lainya denan memakai sepotong bambu dengan sebutan sanghyang bumbung.

Sanghyang Celeng
Tari Sanghyang Celeng yang ditarikan oleh seorang pria dengan busana yang terbuat dari ijuk yang menyerupai babi. Setelah penari dimasuki roh, maka penari akan merangkak menirukan tingkah laku seekor babi. Tarian ini terdapat di desa Duda Kabupaten Karangasem.

TUALEN (Hyang Semar/Semar versi Bali)


Semar adalah punakawan dari Ida Bhatara Hyang Siwa Pasupati, yang diciptakan pada jaman Pandawa. Hyang Siwa Pasupati mempunyai 4 punakawan yaitu Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. 

Semar di Bali dikenal bernama Tualen, Petruk adalah merdah, Gareng adalah Sangut dan Bagong adalah Delem.

Pada saat Panca Pandawa mengasingkan diri ke alas, alas yang dicapai adalah alas Jawa, karena diceritakan pada saat itu semua pulau masih bersatu. Bukti dari Panca Pandawa datang ke alas Jawa yaitu Bima kawin dengan seorang raksasa bernama Diyah Dimbi dan lahirlah Gatot Kaca. Juga Arjuna bertapa di gunung yang sekarang dikenal dengan gunung Arjuna di Jawa, serta karena pada saat itu banyak sekali raksasa-raksasa yang mengganggu Arjuna dalam tapanya, maka diturunkanlah 4 punakawan oleh Ida Bhatara Hyang Siwa Pasupati untuk menjaga Arjuna. Dalam pertapaannya Arjuna diberi sebuah panah sakti oleh Hyang Siwa Pasupati.

Tak dapat dipungkiri bahwa dari kisah Arjuna bersemedi di tanah Jawa kemudian muncul Semar di dunia ini sebagai pamong para raja-raja atau pemimpin seluruh dunia. Semar kemudian diberi gelar Sada Siwa oleh Hyang Siwa Pasupati, atau dalam Hindu Dharma dikenal juga sebagai Sang Hyang Ismaya dan Manik Maya. Sebutan Beliau yang lain adalah Sabda Palon.

Semar adalah juga merupakan Dewa yang mengatasi semua Dewa dan Dewa yang menjelma menjadi manusia. Semar juga kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatrya utama lainnya yang tidak terkalahkan.

Semar merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe. Sepi akan maksud, rajin dalam bekerja. Semar mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Hyang Widi demi kesejahteraan umat manusia di jagat raya ini. 

Tualen adalah seorang punakawan yang disegani dan disenangi oleh banyak raja dan para Dewata. 

Tualen berpenampilan sederhana sebagaimana rakyat biasa, walau sebagai abdi raja karena Beliau adalah pelayan umat manusia untuk mencapai keadilan dan kebenaran di muka bumi.

Tualen / Semar di Nusantara adalah sebagai Dang Hyang-nya Nusantara (nenek moyang Nusantara). Beliau berumur jutaan tahun dan hidup abadi atau moksa. Sekali beliau tidur adalah 500 tahun lamanya dan setiap Beliau terbangun pasti ada suatu kerajaan atau keyakinan yang sedang berselisih.

Tualen juga sebagai lurah karang dempel. Karang artinya gersang, dempel artinya keteguhan jiwa. Rambut beliau menguncung, rambutnya memberi tahukan kepada umat manusia; akuning sang kuncung artinya adalah, akulah sebagai kepribadian pelayan umat manusia. 

Kain beliau bernama parangkusumorojo yang artinya perwujudan dewonggowantah artinya, menuntun umat manusia agar mencapai memayuhayuning bawono yang artinya, terjadinya keadilan dan kebenaran di muka bumi. Jadi sesunguhnya Semar itu hampir sama tugasnya dengan Ibu Dewi Kwan Im, yaitu bilamana umat manusia belum mencapai kebahagaian maka Beliau tidak akan pergi ke alam nirwana atau alam Siwa Budha.

Semar berkata; bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur kamurkan mardik, yang artinya, merdekanya jiwa dan sukma.

Jadi umat manusia dituntun oleh Tualen agar terlepas dari segala penderitaan dan mencapai moksa. 

Tualen sebagai perlambang ngelmu gaib atau simbulnya alam gaib. Kasampurnaning pati. Beliau tidak akan pernah mati karena Beliau sudah mencapai kesempurnaan.

Jadi singkat cerita tentang Tualen/Hyang Semar atau nenek moyang Nusantara ini atau Dhang Hyang-nya Nusantara adalah yang mengemban tugas untuk mempersatukan umat dari masalah-masalah kerohanian.

Om wilaheng astu namo sidyam, luputo salah lan sandi luputo denane tawang towang jagat dewa bhotoro jagat hyang pramuditya bhuwana langgeng rahayu rahayu rahayu sagung dumadi.


 softquadro

Tradisi PENGERUPUKAN dI Pulau BALI



Pengerupukan dilaksanankan sehari sebelum Umat Hindu melaksanakan brata penyepian ( silentlife) maksud dan tujuannya adalah mengharmonisasi aspek keButha'an/Kala alam beserta isinya, dengan ritual caru / persembahan suci kepada Maha Raja Yama diyakini semua komunitas ButhaKala akan tidak menggangu dan mempengaruhi alam ini khususnya manusianya. Seakan - akan adawujud garansi kepada kita.

Dibagian lain dari hal tersebut diatas, kami akan menyoroti kegiatan setelah masyarakat melakukan ritual caru, adalah prosesi Karnaval Obor/Oboh yang dinamai " Kuntang Kunting ". Sebagai pelaksana atas kegiatan ini adalah Sekehe Teruna Adat dan diikuti oleh anak - anak lainnya. 

Pelaksanaan karnaval ini dimulai dari ujung desa (Utara) berjalan perlahan - lahan menuju kesemua penjuru desa/batas desa" yang berkonotasi penyapuhan desa atas segala leteh/kotoran yang menghinggapi selama setahun ( tahun Caka ), artinya juga melakukan prosesi pembersihan niskala atas tanah desa selama setahun...

Hal lain dilakukan dimasing - masing pekarangan adalah dengan melakukan ritual juga tapi sebatas dipekarangan masing - masing, sama juga ditujukan kepada Maha Raja Yama, juga ada persembahan yang dipersembahkan dilebuh( pintu gerbang pekarangan ), masing - masing keluarga diberikan 1 ( satu ) helai lis/ gabungan untaian janur yang dipasupati, nasi taur ( gabungan butir -butiran bija beserta daging dan alkohol ) serta Tirta yang dikirim dari Pura Besakih kepada masing - masing Desa Pekeraman yang di tahun ini bertepatan dengan Ritual Panca Bali Krama ( Caru 10 tahun sekali )


Tradisi MEKOTEK




Ini adalah suatu aktraksi adat budaya yang saat menarik untuk anda saksikan,yang hanya ada di Bali pulau Dewata

Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuan memohon keselamatan. Upacara yang juga di kenal dengan istilah ngerebek. Mekotek ini adalah warisan leluhur, adat budaya dan tradisi yang secara turun temurun terus dilakukan umat Hindu di Bali.

Pada awalnya pelaksanaan upacara Mekotek diselenggarakan untuk menyambut armada perang yang melintas di Munggu yang akan berangkat ke medan laga, juga penyambutan pasukan saat mendapat kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam.

Dahulunya upacara ini menggunakan tombak yang terbuat dari besi. Namun seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta yang terluka maka sejak tahun 1948 tombak besi mulai diganti dengan tombak dari bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura.

Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi.

Perayaan upacara Mekotek selalu dilakukan oleh warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada setiap Hari Raya Kuningan. Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun lalu.

Pada saat itu Perayaan upacara Mekotek dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda 1915 (Ida Bagus Gede Mahadewa) karena takut terjadi pemberontakan, namun akibat dari larangan tidak boleh mengadakan upacara Mekotek tersebut muncul wabah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan banyak memakan korban jiwa. Lalu terjadi perundingan dan akhirnya diizinkan kembali, sejak saat itu tidak pernah ada lagi bencana. 

Upacara ini Makotek ini diikuti sekitar 2000 penduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar turun ke jalan dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. 

Mereka mengenakan pakaian adat madya dengan hanya mengenakan kancut dan udeng batik dan membawa selonjoran kayu 2 meter yang telah dikuliti. 

Pada tengah hari seluruh peserta berkumpul di pura Dalem Munggu yang memanjang. Disana dilakukan upacara syukuran bahwa selama 6 bulan pertanian perkebunan dan segala usaha penduduk berlangsung dengan baik, setelah serangkaian upacara berlangsung, keseluruhan peserta melakukan pawai menuju ke sumber air yang ada di bagian utara kampung. 

Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok . Di setiap pertigaan yang dilewati masing masing kelompok yang terdiri dari 50 orang akan membuat bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut lalu mereka berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan. 

Pada saat yang tepat seorang yang dianggap punya nyali sekaligus punya kaul akan mendaki puncak piramid dan melakukan atraksi entah mengangkat tongkatnya atau berdiri dengan mengepalkan tangan, sambil berteriak laksana panglima perang mengkomamdoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh lalu kemudian ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Sesampai di sumber air, tameng suci, segala perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi tirta air suci dan dibersihkan. Kemudian mereka melakukan pawai kembali ke Pura Dalem untuk menyimpan semua perangkat yang dibawa berkeliling tadi.


MEKARE-KARE (Upacara Perang Pandan)


Adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (dewa perang) juga para leluhur. 

Perang Pandan atau mekare-kare diadakan tiap tahun bulan juni di Desa Tenganan, desa ini masuk salah satu desa tua di Bali, desa ini disebut Bali Aga yang terletak di 70 km timur Denpasar Bali lebih kurang 70 menit menggunakan kendaraan bermotor. 

Lokasi desa ini dikelilingi bukit, sementara bentuk desa sendiri seperti layak nya sebuah benteng yang hanya mempunyai empat pintu masuk dengan sistim penjagaan, sehingga lebih memudahkan untuk tahu siapa saja yang datang dan pergi dari desa tersebut.

Warga desa Tenganan berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Warga desa Tenganan mempunyai aturan tertulis atau awig-awig yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka,juga tidak mengenal kasta dan diyakini Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. 

Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan. Sementara Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.

Muasal Mekare-kare pada zaman dahulu kawasan Tenganan dan sekitarnya diperintah oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang lalim dan kejam, ia bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan, mendengar itu para dewa di surga pun murka, lalu para dewa mengutus Dewa Indra untuk menyadarkan atau membinasakan Maya Denawa, dengan cara mengangkat Dewa Indra sebagai panglima perang atau pemimpim pertempuran. Melalui pertempuran sengit dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit, akhir nya Maya Denawa dapat kalahkan.

Upacara Perang Pandan/Mekare kare ini diadakan 2 hari dan diselenggarakan 1 sekali dalam setahun pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.

Pelaksanaan upacara Mekare-kare ini adalah didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa. Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), untuk para pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju, bertelanjang dada.

Perang ini adalah pandan berduri diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada, sementara untuk perisai yang terbuat dari rotan. Setiap pria (mulai naik remaja) didesa ini wajib ikut dalam pelaksanaan Perang Pandan, panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu. Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa tali pengaman mengelilingi.

Diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan,lalu diadakan ritual minum tuak, tuak dalam di bambu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Kemudian tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping panggung.

Saat upacara Perang Pandan akan dimulai seorang pemimpin adat di Desa Tenganan memberi aba-aba dengan suaranya, lalu dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri. Penengah layaknya wasit berdiri di antara dua pemuda ini.

Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula megeret pandan. Peserta perang yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang lain.

Pertandingan ini tidak berlangsung lama. Kurang dari satu menit bahkan. Selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain, Ini dilakukan bergilir (lebih kurang selama 3 jam).

Semua luka gores diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. 

Pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira tidak ada yang kesakitan, menangis, menyesal bahkan marah. Tradisi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, dewa perang yang dihormati dengan darah lewat upacara perang pandan, dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.

Perang Pandan ditutup dengan bersembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan mempersembahkan/menghaturkan tari Rejan


Asta Kosala Kosali : Tata letak ruang Rumah Bali


Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.

Untuk melakukan pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang mpunya rumah. mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti

1. Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
2. Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
3. Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)

A Landasan Filosofis, Etis. dan Ritual

A.1. Landasan filosofis.

1.1. Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.

Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.

1.2. Unsur- unsur pembentuk.

Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.

A.2. Landasan Etis

2.1. Tata Nilai.

Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.

2.2. Pembinaan hubungan dengan lingkungan.

Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha

A.3. Landasan Ritual

Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

B. Konsepsi perwujudan

Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :

1. Keseimbangan alam
2. Rwa Bhineda, Hulu- teben, Purusa- Pradhana
3. Tri Angga dan Tri Mandala.
4. Harmonisasi dengan lingkungan.
5. Keseimbangan Alam:
Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.

6. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.

Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.

7. Tri Angga dan Tri Mandala.

Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang
bernilai kanista (misalnya: kandang).
Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).

8. Harmonisasi dengan potensi lingkungan.

Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.

C. Pemilihan Tanah Pekarangan.

1. Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).

2. Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :

2.1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
2.2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
2.3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
2.4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
2.5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
2.6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
2.7. karang tenget,
2.8. karang buta salah wetu,
2.9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
2.10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
2.11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)

3. Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.

4. Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.

C.1. Pekarangan Sempit.

Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.

C.2. Rumah Bertingkat.

Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.

C.3. Rumah Susun.

Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

D. Dewasa Membangun Rumah.

D.1. Dewasa Ngeruwak :

Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.
Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.

D.2. Nasarin :

Watek: Watu.
Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi,
Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.

D.3. Nguwangun

Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.

D.4. Mengatapi

Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.

D.5. Memakuh/ Melaspas

Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.

E. Upacara Membangun Rumah.

E.1. Upacara Nyapuh sawah dan tegal.

Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal.
Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.

E.2. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan.

Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna.
Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.

E.3. Upakara Pemelaspas.

Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara

E.4. dan upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.

Asta Kosala Kosali – Fengshui ala Bali



Tanah dan tata letak rumah berpengruh terhadap kehidupan penghuninya.lontar asta kosala kosali atau asta bumi bisa dijadikan acuan.Bagaimanakah bangunan arsitek bali yang bisa membuat penghuninya bisa nyaman dan bahagia.

Menurut ida Pandita dukuh Samyaga,perkebangan arsitektur bangunan Bali,tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11,atau zaman pemerintahan Raja Anak wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14,juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.

Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga.Lebih jauh dikemukakan,Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur,sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya.Dalam kisah tersebut,hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna.Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur.

Karenanya,tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma.Upacara demikian di lakukan mulai dari pemilihan lokasi,membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai.Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya.Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali,bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis,agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.

Tanah

Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi (tanah) yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi). Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.

Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik.Tanah berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari genggaman tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan tanah galian tadi.

Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya kurang) berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu masuk yang sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.

Kurang Bagus

Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.

Tata Letak Bangunan


Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.

Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi Dewa Air.
Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat.

Pintu Masuk

Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama. Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air) yang disi ikan.

Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah.



Sabtu, 12 Mei 2012

Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi NAZI


Diarsip dalam: Belanda harry poeze Indonesia Nazi Jerman Parlindoengan Lubis
Karena berani melancarkan perlawanan, tidak sedikit orang Indonesia dijebloskan dalam kamp konsentrasi Nazi. Bebas dari kamp dan mencoba pulih dari kekejiannya, mereka menghadapi kejutan besar. Perjuangan terdahulu, yang ditunda ketika Belanda diduduki Nazi sehingga perlawanan terhadap fasisme lebih mendesak, ternyata menjadi kenyataan.

26 Juni 1941 adalah hari yang tak terlupakan sepanjang hidupnya. Seperti kata pepatah - untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak - pada hari naas itu kehidupan Parlindoengan Loebis berubah sepenuhnya.

TERKAIT:
Menunda Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Mengubah haluan
Sebagai dokter muda lulusan Universitas Leiden yang baru buka praktek di Amsterdam, selain mengunjungi, Loebis juga banyak didatangi pasien. Pada hari di musim panas itu, ketika makan siang bersama istrinya Jo Soumokil, pintu rumahnya diketuk.

Semula dikiranya ada pasien yang tidak kenal jam praktek. Tapi ternyata dua orang tamu itu anggota Gestapo, dinas rahasia pendudukan Nazi Jerman yang memintanya ikut ke Euterpestraat, markas besar mereka. Sebentar saja, sebelum jam praktek sore ia sudah bisa pulang.

Sebentar itu ternyata berlangsung selama empat tahun. Parlindoengan Loebis dipindah-pindah dari Kamp Schoorl dan Kamp Amersfoort di Belanda ke kamp-kamp Buchenwald dan Sachsenhausen di Jerman. Dia alami sendiri kehidupan mengerikan dalam kamp.

Untung pada sebagian besar kamp itu Loebis bertugas sebagai dokter. Itulah yang menyelamatkannya. Parlindoengan Lubis menuliskan semua kekejian yang dialaminya dalam otobiografinya yang berjudul "Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi".

Pada buku itu antara lain bisa dibaca bahwa di Kamp Schoorl, Loebis bertemu Sidartawan, sekretaris Perhimpoenan Indonesia, PI. Sebelum perang, Loebis pernah menjabat ketua organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda ini.

Rupanya Nazi menganggap PI dekat dengan Partai Komunis Belanda CPH, sehingga seperti kalangan komunis, pengurus PI-pun ditangkapi. Kedekatan ini bukan kebetulan, maklum kalangan komunis adalah partai pertama yang menghendaki “Indonesië los van Holland”, Indonesia lepas dari Belanda.

Yang tampaknya tidak diketahui Nazi adalah, ketika masih menjabat ketua, Parlindoengan Loebis justru membuka PI dari ketertutupan ketika masih dekat dengan pihak komunis Belanda. Sejarawan Belanda Harry Poeze dari KITLV di Leiden menunjuk bahwa Loebis mengubah haluan, mendekatkan PI dengan SDAP, partai sosial demokrat Belanda.

Anne Frank
Lulus sebagai dokter, tentu saja Parlindoengan Loebis juga melepas kedudukannya dalam Perhimpoenan Indonesia. Tetapi mengapa ia tetap diburu Nazi? Loebis tak bisa memastikannya. Alasan penangkapannya juga baru diketahuinya bulan Maret 1945, menjelang pembebasan dari Kamp Buchenwald.

Yang jelas, di Kamp Schoorl dia bertemu Sidartawan, Sekretaris Perhimpoenan Indonesia. Di situ dia juga mendengar: Nazi sebenarnya hanya berniat menangkap ketua PI. Tetapi Setiadjit, sang ketua, menghilang. Sidartawanlah yang tertimpa sial, ia harus “menggantikan” Setiadjit.

Ketua PI ini bersembunyi di bilangan De Jordaan, Amsterdam pusat, pasti tidak jauh dari rumah gadis Yahudi Anne Frank yang juga bersembunyi di rumahnya sendiri, menghindari Nazi.

Putra Maluku
Parlindoengan dan Sidartawan bersama-sama dipindah ke Kamp Amersfoort. Tapi di sini mereka berpisah. Dalam otobiografinya, Parlindoengan Loebis mencatat Maret 1942 Sidartawan dipindah ke Kamp Hamburg, dia ke Kamp Buchenwald. Dua kamp konsentrasi itu berada di Jerman.

Dari Kamp Hamburg, Sekretaris Perhimpoenan Indonesia Sidartawan masih dipindah ke Kamp-Kamp Neuengamme dan Dachau. Tapi penderitaan di dalam kamp konsentrasi ini melemahkannya. Kurang gizi, penyiksaan dan higiene yang tak bermartabat menyebabkan Sidartawan terserang tuberculosis.

Pada awal November 1942 ia tutup usia di Dachau.

Menurut catatan sejarawan Harry Poeze sampai delapan orang Indonesia tewas karena ditembak, disiksa atau sakit dalam kamp konsentrasi Nazi. Selain Sidartawan, misalnya ada nama-nama seperti Moen Soendaroe, Irawan Soejono, Victor Makatita dan Eddy Latuperisa. Dua nama terakhir adalah kadet akademi militer KMA di Breda, Belanda selatan.

Makatita ingin kembali ke Indonesia untuk ikut melawan Jepang, sedangkan Latuperisa aktif dalam gerakan bawah tanah. Tapi Nazi Jerman menangkap dan menghukum mati dua putra Maluku ini.

Penasihat komunis
Putra Maluku lain, Donald Poetiray, selamat dari kekejaman kamp konsentrasi, begitu pula adiknya Henk, walau keduanya masuk kamp yang berbeda. Demikian Herman Keppy yang meneliti dua bersaudara ini.

Menyimpan surat yang dikirim Donald dari Kamp Buchenwald kepada orang tuanya di Den Haag, Herman menekankan bahwa sebagai kelahiran Hindia Belanda, Nazi Jerman tidak menganggap Donald musuh. Karena itu dia diizinkan menulis surat kepada orang tuanya di Den Haag, termasuk menerima paket dari mereka.

Herman Keppy menunjukkan surat yang ditulis oleh Donald Poetiray. “Dia bukan orang bodoh, perhatikan bahasa surat ini.” Supaya lolos sensor, surat itu ditulis dalam bahasa Jerman dan tidak berisi kekejian di kamp. “Isinya lebih menarik lagi,” tutur Herman Keppy penuh semangat.

Dalam surat itu Donald Poetiray meminta ibunya supaya berkunjung ke rumah Tante Hendrien dan alamat itu ditulisnya. Sebenarnya keluarga Poetiray tidak kenal Tante Hendrien, tapi inilah pesan tersamar Donald bahwa di dalam kamp dia bertemu anak si Tante.

Dengan begitu mereka tahu bahwa si anak berada di kamp, demikian Herman Keppy.

Donald ditangkap karena melarikan diri. Tidak jelas apakah Nazi memberitahu alasan itu, ketidakjelasan juga dialami oleh Parlindoengan Loebis. Baru pada tahun 1945, ketika sudah berada di Kamp Konsentrasi Buchenwald, Loebis tahu kenapa dia masuk kamp.

Ketika ditanyai nama dan asalnya, tanpa sengaja Parlindoengan melirik catatan penjaga Kamp Sachsenhausen, tempat interogasi berlangsung. Di situ tertera dirinya sebagai “penasihat pimpinan Partai Komunis Holland yang ilegal”.

Tuduhan ini menggelikannya. Dengan berolok-olok, kepada temannya ia sering menyombongkan diri sebagai “penasihat komunis”.

Buatan Jepang
Tak lama setelah itu Nazi bertekuk lutut, Parlindoengan Loebis bebas dari Kamp Buchenwald, walaupun dia harus ikut apa yang disebut mars kematian yang membawanya ke front sekutu. Donald Poetiray dibebaskan oleh Pasukan Sekutu pimpinan Jenderal Patton.

Orang-orang yang selamat itu kembali ke Belanda. Di Belanda, menyusul pembebasan pasukan sekutu, mereka yang bersembunyi juga keluar menghirup udara bebas, termasuk banyak orang Indonesia.

Pada saat inilah orang-orang Indonesia ini dikejut oleh perkembangan di tanah air. “Sebuah perkembangan yang tak terduga-duga,” demikian Harry Poeze. Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Di Belanda mereka sempat menunda perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan tanpa mereka sadari Indonesia menyatakan diri merdeka. Dengan hati-hati mereka dukung kemerdekaan Indonesia, maklum mereka harus memastikan dulu republik baru itu bukan buatan Jepang. 

(Joss Wibisono)

ATL (Asosiasi Tradisi Lisan)

Kamis, 10 Mei 2012

NILAI2 IDEOLOGI dan SIKAP PENGARANG: KAJIAN atas SASTRA DRAMA Karya NANO RIANTIARNO


Abstrak

Nano Riantiarno menulis sastra drama sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini tidak kurang dari 40 naskah sastra drama yang telah dibuatnya dan dipentaskan oleh grup teater binaannya, yaitu Teater Koma. Satu hal yang menjadi ciri khas dari karya-karya Nano Riantiarno adalah menampilkan tokoh-tokoh dari kalangan kelas sosial menengah bawah, kendati ada juga karyanya yang menampilkan kelas sosial atau penguasa. Tampilnya kalangan kelas sosial menengah bawah tersebut secara dominan pada sejumlah karyanya mengindikasikan keberpihakan pengarang terhadap nasib dan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum marjinal tersebut. 



Karya Nano Riantiarno yang ditulis tahun 1970-an dan empat di antaranya meraih penghargaan sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (1972, 1973, 1974, dan 1975), tahun 1980-an ia menulis kurang lebih lima drama opera dan saduran dari penulis dunia seperti Bertolt Brecht, Friederich Durennmat, tahun 1990-an menyadur cerita rakyat Tionghoa “Sampek dan Engtay”, “Opera Sembelit”, dan tahun 2000-an ia lebih banyak membuat novel. Karya-karya dramanya itu menunjukkan sebuah perjalanan ideologi pengarang yang tidak dapat dipisahkan dari motivasinya untuk menyoroti permasalahan yang mengemuka pada masanya.

Kajian dalam makalah ini pada dasarnya menyoroti nilai-nilai ideologis pengarang yang tersirat maupun tersurat dari sejumlah karya tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah sosiologi sastra yang berkaitan dengan pengarang, teks, dan konteks sosial pada masa karya itu ditulis atau dipertunjukkan. Karya sastra merupakan dokumen sosial yang memuat pikiran, harapan, dan kritik pengarang (dan juga masyarakat secara kolektif) terhadap situasi zaman.


Dengan memahami karya-karya sastra drama yang ditulis Nano Riantiarno diperoleh sebuah pemahaman tentang persoalan orang-orang kecil yang bergumul dengan kehidupan metropolitan Jakarta. Karya-karya itu juga dapat dilihat sebagai indikator adanya berbagai masalah sosial-politik-budaya Indonesia pada masanya.

 Pendahuluan

Dalam kurun waktu tahun 1970-an disebutkan oleh Jakob Sumardjo sebagai masa keemasan terater modern Indonesia. Sebutan yang dilansir oleh Jakob Sumardjo itu dilandaskan pada tumbuhnya grup-grup teater, yang sebagian besar dibidani oleh Dewan Kesenian Jakarta melalui kegiatan tahunan berupa Festival Teater Remaja Jakarta. Di samping itu, grup-grup teater seperti Bengkel Teater Yogya, Teater Populer, Teater Lembaga, Teater Mandiri, Teater Kecil, Teater  Saja, Teater Koma, dan Studi Teater Bandung menjadi trend setter melalui karya-karya drama yang dipentaskannya. [1]

Masa keemasan itu juga didukung oleh tradisi penulisan sastra drama yang menunjukkan trend baru dibandingkan dengan tradisi penulisan sastra drama pada dekade- dekade sebelumnya. Goenawan Mohamad dalam sebuah artikelnya dalam buku Seks Sastra Kita (1980) mengungkapkan bahwa pada penciptaan karya Kapai-Kapai, Arifin C. Noer bersamaan dengan proses latihannya, sehingga naskah itu dinyatakan selesai sesaat menjelang pertunjukan. Bahkan, tidak jarang menjelang pertunjukan perubahan-perubahan pada naskah masih terus berlanjut. Apa yang dikemukakan Goenawan Mohamad itu salah satu keunikan yang terjadi pada masa tahun 1970-an. Dalam pada itu, Dewan Kesenian Jakarta menggiatkan penulisan sastra drama melalui Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara yang kemudian menelurkan sejumlah penulis baru sastra drama dan tidak kurang dari 50 naskah drama telah terseleksi melalui sayembara itu. Salah satu di antara penulis yang karya-karyanya terseleksi dan kemudian sejak tahun 1980-an hingga kini banyak menulis karya-karya bergaya opera dan mementaskan bersama grup teaternya adalah Nano Riantiarno. 


Nano Riantiarno menulis sastra drama sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini tidak kurang dari 40 naskah sastra drama yang telah dibuatnya dan dipentaskan oleh grup teater binaannya, yaitu Teater Koma. Satu hal yang menjadi ciri khas dari karya-karya Nano Riantiarno adalah menampilkan tokoh-tokoh dari kalangan kelas sosial menengah bawah, kendati ada juga karyanya yang menampilkan kelas sosial atas atau penguasa. Tampilnya kalangan kelas sosial menengah bawah tersebut secara dominan pada sejumlah karyanya mengindikasikan keberpihakan pengarang terhadap nasib dan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum marjinal tersebut. Karya Nano Riantiarno yang ditulis tahun 1970-an dan empat di antaranya meraih
penghargaan sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (1972, 1973, 1974, dan 1975), tahun 1980-an ia menulis kurang lebih lima drama opera dan saduran dari penulis dunia seperti Bertolt Brecht, Friederich Durennmat, tahun 1990-an menyadur cerita rakyat Tionghoa “Sampek dan Engtay”, “Si Jin Kwie”, “Kenapa Leonardo”, dan tahun 2000-an ia lebih banyak membuat novel. Karya-karya dramanya itu menunjukkan sebuah perjalanan ideologi pengarang yang tidak dapat dipisahkan dari motivasinya untuk menyoroti permasalahan yang mengemuka pada masanya.

Beberapa Karya Populer Nano Riantiarno

Debut pertama Nano Riantiarno dalam penulisan sastra drama ditandai dengan karyanya “Rumah-rumah Kertas” (1972). Satu per satu karyanya lahir melalui Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta. Satu karyanya berjudul “Matahari Sore Bersinar Lembayung” (1972) mendapat penghargaan dalam sayembara itu, kemudian, tahun 1973 karyanya “Tali-Tali”, dan pada tahun 1974, yaitu “Malam Semakin Kelam” memperoleh hadiah pemenang harapan, tahun 1975 karyanya “Lingkaran Putih” dan “Maaf Maaf Maaf” Sejak itu, karya-karyanya tidak tampil melalui sayembara itu, tetapi ia memfokuskan pada pengembangan grupnya menjadi sebuah grup teater profesional dengan mementaskan karya-karyanya yang semakin memperlihatkan gaya dan kekhasan Nano Riantiarno, seperti pada “Opera Primadona” yang mengisahkan kehidupan anak wayang dalam kelompok sandiwara tahun 1920-an pada masa jayanya Opera Dardanella di Surabaya atau Miss Riboet’s Orion di Jakarta. Lihat LINK :http://www.facebook.com/photo.php?fbid=2048043896728&set=a.1363997395993.39916.1713388337&type=3


Era tahun 1980-an, Nano Riantiarno mulai menulis sastra drama dengan model serial yang menampilkan tokoh Julini dalam “Bom Waktu”, “Opera Kecoa” dan “Opera Julini”, dan trilogi republik (Republik Togog, Republik, Bagong, dan Republik Petruk). Pola demikian sudah dilakukan oleh Arifin C. Noer dengan serial Orkes Madun dengan tokoh Waska sebagai perekat antarkarya. Tokoh Julini mewakili tokoh kelas bawah yang marjinal dari segi seksual, marjinal dari segi sosial, dan marjinal dari segi kehidupan. Serial Julini inilah yang mengukuhkan Nano Riantiarno sebagai penulis sastra drama bergaya opera. Memang bukan karya opera sebagaimana lazimnya (cakapan-cakapan antartokoh sepenuhnya dinyanyikan dengan iringan music dan gerak). Karya-karya Nano ini masih mencampurkan antara cakapan, nyanyian, musik, dan gerak. Eksperimen pertunjukan yang dilakukan oleh Nano Riantiarno dalam serial Julini ini merupakan hasil studinya dengan karya-karya opera epik model Bertolt Brecht, yang ia eujudkan juga dalam karyanya “Opera Ikan Asin” yang merupakan saduran dari karya Bertolt Brecht “The Three Penny Opera”. Sukses dengan saduran itu, ia semakin intens dengan model opera epik itu dan lahirlah karya-karya seperti “Sandiwara Para Binatang” (George Orwell), “Sampek dan Eng Tay”(cerita klasik Tiongkok). Sejumlah karya penulis dunia lainnya ia pentaskan, antara lain “Kunjungan Nyonya Tua” (Friederich Durennmat), “Mengapa Leonardo”. Dalam hal menyikapi perkembangan sosial politik di tanah air dalam dekade ’80 dan ’90-an, ia menuangkan kritik dan tanggapannya melalui karya-karya antara lain “Semar Gugat”, “Suksesi”, “Konglomerat Burisrawa”, “Opera Sembelit”, dan “Wanita-wanita Parlemen”.



 Sikap Kepengarangan Nano Riantiarno

Menyimak sejumlah karya Nano Riantiarno tersebut, hal yang menarik untuk ditelaah adalah sikap di balik pemilihan karya-karya penulis dunia dan penciptaan karya-karyanya itu yang disuguhkan kepada masyarakat untuk diapresiasi melalui pertunjukan Teater Koma. Intuisi seorang pemerhati, yang juga pernah menjadi wartawan media massa, tertuang dalam karya-karyanya itu. Setidaknya, dari kaca mata studi sosiologi sastra, sikap pengarang mewakili pula pandangan dunia masyarakat atau kelas sosial sang pengarang itu. Dalam hal itu, tidak tertutup pula adanya unsur-unsur ideologis yang berafiliasi pada pandangan partai politik, ideologi masyarakat perkotaan, ideologi berlandaskan keagamaan, ketradisionalan, dan paham-paham kritis kaum pascamodernisme yang berpikir global.


Nano Riantiarno, sebagai penulis sastra drama sekaligus sutradara, menunjukkan pandangan dunia yang dapat dikatakan multidimensional. Dimensi pertama yang terlihat dari sejumlah karya-karyanya adalah dimensi keindonesiaan (lokal), yang sarat dengan kekayaan budaya tradisional, dipakai sebagai media untuk menampilkan gagasan-gagasannya. Idiom-idiom wayang yang sudah lekat dengan pengetahuan kolektif masyarakat Indonesia dipakai sebagai pengait (hook) yang efektif untuk melontarkan sikap-sikap kritisnya tentang konstelasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik di Indonesia. Dalam “Semar Gugat”, misalnya, Nano Riantiarno menampilkan betapa Semar sebagai tokoh penting dalam dunia pewayangan harus kehilangan makna karena terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Secara ekonomi, nama tokoh itu dipakai untuk merek dagang, seperti Batik Semar, atau salah satu nama kuliner khas Jawa, yaitu ‘semar mendem’. Secara politik, tokoh itu dipakai untuk legitimasi kekuasaan, sehingga muncul sebuah lakon wayang carangan ‘Semar Mbabar Jati Diri’. Dalam konteks drama karya Nano, tokoh Semar menuntut jati dirinya yang “tercemar” oleh kooptasi tersebut. Semar adalah Ismaya adalah lambang kesuburan, keprihatinan, sang pamong yang adil, bijaksana, dan rendah hati. Tokoh-tokoh pewayangan adalah ladang subur bagi Nano Riantiarno. Ia menjadi sumber penciptaan yang tak pernah kering, karena pribadi dan lambang-lambang di balik para tokoh itu sudah mapan. Burisrawa, misalnya adalah tokoh yang penuh angkara untuk berada di posisi kekuasaan. Karakter tokoh ini dipandang cocok untuk menjadi tokoh sentral dalam drama “Konglomerat Burisrawa”. Burisrawa sendiri dalam pewayangan merepresentasikan karakter kasar dan suka tertawa. Ia tergila-gila kepada Dewi Wara Sembadra. Di tangan Nano Riantiarno, tokoh ini menjelma sebagai konglomerat yang serakah, terobsesi dengan kekayaan, dan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan termasuk menyogok para pejabat. Jelas dari situ Nano Riantiarno melalui drama ini sedang menyoroti perilaku bisnis para konglomerat yang memiliki megabisnis. Dunia pewayangan yang kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang tinggi menjadi berdaya kembali melalui karya-karya Nano Riantiarno. Dari hal itu, generasi muda metropolitan yang notabene kurang akrab lagi dengan idiom-idio tradisional semacam wayang, seolah diperkenalkan kembali kepada tokoh-tokoh pewayangan itu, kendati tidak secara utuh. Misalnya, siapa tokoh-tokoh punakawan itu dan bagaimana sifat-sifat mereka masing-masing. Punakawan bukan saja Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng, tetapi diperkenalkan pula siapa Togog, Bilung, Limbuk, dan Cangik.


Republik Petruk di TIM merupakan pementasan Teater Koma yang ke-114 selama kiprah mereka, baik di televisi maupun panggung. Rumah Kertas, Maaf.Maaf.Maaf., J.J, Kontes 1980, Trilogi OPERA KECOA (Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini), Opera Primadona, Sampek Engtay, Republik Bagong, Republik Togog, dan Banci Gugat.

Dimensi kedua adalah dimensi mendunia (global), yaitu ditunjukkan melalui karya-karya khazanah sastra dunia yang disadurnya ke dalam situasi dan suasana keindonesiaan (lokal). Perkawinan dua dimensi itu tak urung melahirkan sebuah wacana baru dalam kehidupan teater modern Indonesia dan tradisi penulisan sastra drama di Indonesia. Kendati perkawinan itu bukan sebuah kebaruan sama sekali dalam tradisi seni pertunjukan di Indonesia. Transformasi cerita- cerita epos Mahabarata dan Ramayana dari tradisi dan ajaran keagamaan Hindu ke tradisi dan ajaran Islam (dan kejawen) merupakan salah contoh akulturasi melalui kesenian yang justru memperkaya khazanah budaya masyarakat Indonesia. Demikian pula pada karya adaptasi yang diciptakan Nano Riantiarno, seperti “Sampek dan Eng Tay” yang tragis sekaligus romantik dan
 “Sie Jin Kwie” yang menampilkan sosok pahlawan. Keduanya merupakan khazanah cerita rakyat Tiongkok. Drama epik Bertolt Brecht, the Threepenny Opera disadur menjadi Opera Ikan Asin yang bermain di Batavia tahun 1925. Kisah kongkalikong antara penjahat dengan polisi yang saling menguntungkan menjadi salah satu permasalahan dalam drama ini. Selain itu, dikisahkan pula bagaimana penjahat itu mampu mempengaruhi pihak penguasa sehingga ia bebas dari jerat hukuman mati. Bahkan menjadi wakil rakyat yang terhormat pada masa itu (Volksraad). Konsep drama epik Brecht dengan efek alienasinya tidak menjadi penting lagi di tangan Nano Riantiarno. Penonton tidak diarahkan untuk berjarak dan bersikap kritis terhadap realitas panggung (sesuai dengan konsep drama epik Brecht), tetapi penonton disuguhi sebuah tontonan kocak dan menghibur. Tontonan yang kocak dan menghibur itulah salah satu ciri keberhasilan Nano Riantiarno dari setiap karya dan pertunjukannya. Dalam hal itulah, karya-karya Nano Riantiarno menjadi sebuah wacana yang mengingatkan kembali bahwa akulturasi lokal-global yang mampu memberikan pencerahan dan membuka kreativitas yang sangat luas.

Dalam hal sikap kepengarangan Nano Riantiarno sebagaimana direpresentasikan melalui karya- karyanya tersebut dapat ditemukan 1) sikap peduli kepada masyarakat kelas bawah; 2) mengadopsi konsep tontonan yang humoris dan menghibur; 3) kritis terhadap fenomena sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang berkembang di masyarakat; 4) pemanfaatan potensi khazanah budaya global dan lokal yang dimanfaatkan untuk mengusung gagasan-gagasannya dalam setiap karyanya.

Nilai-nilai Ideologis pada Sastra Drama Karya Nano Riantiarno

Konseptualisasi sikap kepengarangan Nano Riantiarno sebagai telah dikemukakan di atas merupakan pencerminan nilai-nilai ideologis yang dianutnya. Dalam hal itu, sikap tersebut menjadi landasan sekaligus nilai-nilai yang menunjukkan satu pendekatan ideologis Nano Riantiarno, yaitu ia memandang bahwa masyarakat memerlukan seorang “pahlawan” yang mampu menyampaikan dan merepresentasikan sikap dan pikiran-pikirannya terkait dengan berbagai isu sosial dan politik. Lakon “Republik Petruk”, “Republik Bagong”, dan Republik Togog”, misalnya, adalah tiga karya Nano Riantiarno yang tidak lain merupakan representasi wong cilik yang berkesempatan menjadi pemimpin/penguasa. Kisah-kisah itu sendiri diambil dari cerita wayang “Petruk Jadi Raja” yang bergelar Prabu Petruk Belgeduwelbeh Tongtongsot. Kisah itu sendiri adalah tentang pemimpin dadakan yang sesungguhnya tidak memiliki kapasitas dan kualitas sebagai seorang pemimpin, tetapi tindakannya ternyata melampaui kepatutan dan kekuasaan seorang pemimpin. Ia menjadi sangat otoriter, menghalalkan segala cara, dan memanfaatkan kedudukannya untuk kepuasan dan kepentingan diri sendiri yang lazim kita sebut sebagai 'aji mumpung'. Kejelian Nano Riantiarno menggarap kekayaan cerita wayang dan karakater tokoh wayang dalam karya-karyanya itu dapat diasosiasikan sebagai sikap keprihatinan dan kegeramannya terhadap perilaku oknum pemerintah dan pebisnis di Indonesia. Hasilnya adalah masyarakat yang muak dan kecewa, tetapi tidak memiliki cukup sarana untuk meluapkan dan menyalurkan opini dan persepsinya karena fasilitas untuk itu terkooptasi oleh kepentingan oknum-oknum tersebut. Pahlawan-pahlawan itu berasal dari kalangan rakyat, orang kecil, yang diharapkan dapat mengerti aspirasi, kebutuhan, dan pola pikir rakyat. Akan tetapi, pahlawan itu ternyata menjadi makhluk asing yang tidak dikenal oleh masyarakatnya sendiri. Mereka bukan 'satria piningit' atau 'ratu adil' yang akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sudah lama didambakan. Pemilihan tokoh-tokoh pewayangan tersebut di dalam karya-karya Nano Riantiarno memposisikan keberpihakannya pada moral-moral luhur yang diwujudkan melalui cerita-cerita dan karakter wayang.

Di sisi lain, Nano Riantiarno melalui karya dramanya menunjukkan sikap yang berafiliasi pada ideologi kesenian populer yang adiktif. Pengemasan pertunjukan hibrid dari sejumlah unsur seni ditambah dengan kemasan humor-humor dalam bentuk sentilan merupakan “politik oposisi” sederhana dan upaya pembongkaran terus-menerus atas ideologi-ideologi dominan yang tengah bekerja. Karya-karya Nano Riantiarno adalah sebuah fiksi populer, sebagaimana fiksi-fiksi populer lainnya (novel), sebagai ruang spesifik yang mengarahkan pembaca/penonton untuk melakukan distraksi (pengalihan) dari kenyataan sekaligus mengalami kontradiktif terhadap kenyataan itu sendiri. Pada trilogi opera Julini, pembaca/penonton disuguhi tokoh banci (Julini) yang berarti pada karya itu ada isu tentang seksis yang secara ideologis mempertajam kategori gender menjadi tiga, yaitu pria, wanita, dan banci (wadam). Pribadi-pribadi banci itu dalam realitasnya, di satu sisi menimbulkan persoalan sosial dan di sisi lain—sebagai manusia, pribadi—mereka mempunyai hak untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus dipandang sebagai orang yang memiliki kelainan kepribadian. Hal itu sejalan dengan maraknya persoalan kaum homoseksual di mancanegara yang menuntut pengakuan kesamaan hak, bahkan dalam perkawinan.

Karya-karya Nano Riantiarno sejak tahun 1970-an hingga 2000-an dapat dikatakan sebuah rangkuman ideologis yang menonjol pada waktu itu, yaitu kemiskinan; ketidakberdaayaan secara social, politik, budaya; kekuasaan dan praktik main kuasa; modernitas dalam hal gaya hidup, pandangan kritis tentang gender dan feminisme.


Kesimpulan

Kreativitas Nano Riantiarno sebagai seorang penulis drama, sutradara, dan pemimpin grup Teater Koma sejak tahun 1970 hingga kini menunjukkan pencapaian prestasi yang sulit ditandingi oleh penulis dan sutradara lain di Indonesia. Produktivitasnya bersastra dan berteater menempatkan ia sebagai seniman yang berdedikasi tinggi. Karya-karyanya memiliki multidimensi dalam hal pertunjukan, permasalahan yang diangkat (tematik), dan kepeduliannya kepada gejala-gejala sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Di samping itu, dalam hal manajemen pertunjukan, Nano Riantiarno membawa grupnya ke arah grup teater profesional dengan jumlah hari dan penonton yang senantiasa bertambah.***

Daftar Kepustakaan

Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Elam, Keir. 1980. The Semiotics of Theatre and Drama. New York: Methuen & Co. Ltd. Esslin, Martin. 1976. An Anatomy of Drama. New York: Hill and Wang.

Riantiarno, Nano. 2004. Opera Kecoa. Yogyakarta: Matahari.

---------------2005. Maaf, Maaf, Maaf: Politik Cinta Dasamuka. Jakarta: Gramedia.

---------------1995. Semar Gugat. Yogyakarta: Bentang.

-------------- 1998. Opera Sembelit. Jakarta: Balai Pustaka.

---------------1999. Opera Ikan Asin. Jakarta: Pustaka Jaya.

Storey, John. 1996. Cultural Studies and the Study of Popular Culture: Theories and Methods. Athens: The University of Georgia Press. 

[1] Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara 2010, Majelis Kesusastraan Asia Tenggara (MASTERA), di Hotel Santika, Jakarta pada tanggal 27—28 September 2010. 

[2] SEMINAR ANTARBANGSA KESUSASTRAAN ASIA TENGGARA (SAKAT) 

 (M. Yoesoef, M. Hum )

ATL (Asosiasi Tradisi Lisan)